December 19, 2017

Jessela - Part 1 Aku Tanpa Kamu

1
Aku Tanpa Kamu

Bertanyalah padaku, bagaimana rasanya dunia runtuh? Jawabnya adalah ketika kamu melihat dengan dua pasang matamu sendiri, saat tak ada lagi denyut jantung berdetak di dada orang yang kamu cintai. Duniaku runtuh saat aku menyadari tak akan pernah ada lagi sepasang mata cokelat miliknya yang memandangku penuh kata. Duniaku runtuh saat Tyaga pergi untuk selamanya. Tak pernah kembali lagi.
Tidak banyak yang tahu, malam-malam yang kuhabiskan untuk menangis bersama sesak di dada yang menggebu. Sendirian aku meraung di dalam kamarku, berusaha mengenyahkan segala ingatanku di pagi buta itu. Bunyi suara mesin di ruang ICU, aroma steril ruangan yang bercampur dengan aroma anyir darah yang terus berusaha kuseka dari ujung bibir Tyaga, dan riuh suara perawat yang berusaha menekan dada Tyaga dalam usaha mengembalikan denyut jantungnya, semuanya seakan berusaha membunuhku dari dalam. Belum lagi jerit pilu tangis keluarga Tyaga yang mengiris hati, tipis tapi perih. Hilang semua kekuatanku, luruh dalam kesedihan yang bergulung di dalam dada ini.
Tega kamu, Ga..
Biasanya kamu selalu ajak aku pergi, ke manapun itu. Kenapa sekarang kamu pergi sendiri? Kenapa kamu nggak ajak aku? Kamu pergi dan nggak akan pulang lagi. Kenapa kamu begitu?
Pertanyaan kenapa, kenapa, dan kenapa yang tak pernah benar terlontar keluar dari bibirku. Hanya terus bergaung di dalam pikiranku sambil terus memandang Tyaga yang sudah membujur kaku, tidur di peti peristirahatan terakhirnya. Terus kutanyakan, bahkan sampai tubuh dingin itu terbaring nyaman di bawah tumpukan tanah.
Kenapa, Ga?
Begitu terus sampai berminggu-minggu. Begitu terus sampai aku lelah sendiri dan hanya mampu menangis karena tak ada jawaban pasti. Hanya sedikit terbersit di hati, entah suara Tuhan, bahwa Tyaga pergi itu adalah yang terbaik. Dia pergi bukan sengaja mau membuatku sakit hati. Memang sudah waktunya. Karena pada akhirnya, Tuhan adalah Tuhan. Tak ada satupun yang mampu mengubah kehendakNya.
“Ini yang terbaik, Je…” kata Bella, suatu malam saat dia menemukanku menangis tersedu di pinggir tempat tidurku, memeluk sehelai kemeja milik Tyaga yang masih tersisa aroma parfum yang biasa ia pakai.
“Gue tahu. Tapi sakitnya belum bisa ilang, Be…”
Aku menepuk dadaku, berusaha menghilangkan rasa sesak yang seolah meradang itu. Namun sia-sia, semakin keras aku menepuk dadaku, toh rasa sakit itu tetap bersarang di situ. Kehilangan yang sulit kuatasi sendiri, namun sesungguhnya tak ingin aku bagi. Aku tahu, tak satupun akan memahami. Termasuk keluarga Tyaga. Mereka pasti lebih sedih dan memiliki cara berduka mereka sendiri. Aku pun berduka dengan caraku sendiri.
“Ikhlas, Je… ikhlas…”
Dan malam itu kuhabiskan untuk menangis dan berteriak dalam pelukan Bella. Sementara Bella hanya diam, membiarkanku meronta dan bergulat dengan piluku. Ia tahu, hanya aku yang mampu mengatasi semua itu. Bella tahu sesungguhnya aku paham, bahwa pada akhirnya semua yang lahir ke dunia ini akan kembali lagi pada Penciptanya. Hanya tak ada satupun yang tahu kapan waktunya. Hanya butuh waktu buat seorang Jessela untuk ikhlas sepenuh hati.
Aku menghabiskan kurang lebih dua bulan terakhirku untuk mengurus Tyaga yang tiba-tiba kembali terserang penyakit auto-imun. Bersama dengannya lebih dari 12 jam dalam sehari. Mengurus segala hal tentang dia. Mencukur kumis dan jenggotnya setiap 3 hari sekali. Merapikan isi tas dan dompetnya. Menyiapkan makan pagi, makan siang, dan makan malamnya. Mengingatkan dia minum obat. Berdoa bersamanya, pagi dan malam. Menyentuh bagian tubuhnya yang sakit, karena kata Tyaga, itu akan membuatnya nyaman.
“Je, aku lapar…”
Setiap ia berkata begitu, otomatis aku langsung mengambilkan makanan untuknya. Tak jarang menyuapinya, sementara yang disuapi asik main game di ponsel. Mungkin bagi orang lain itu terlalu berlebihan, namun buatku, aku menikmati mengurusnya seperti itu.
“Je, kok ulu hatiku sakit ya…”
Awal mula dari semuanya. Kalimat yang aku harap tak pernah terucap darinya. Titik menuju saat aku harus kehilangan dia. Sampai ketika Tyaga, dengan alat bantu nafas di mulutnya dan hanya dengan jari-jarinya yang lemah berusaha untuk menulis,
“Je… jangan ke mana-mana”
Tulisan cakar ayam terakhirnya. Permintaannya yang terakhir yang sanggup aku kabulkan, karena permintaannya untuk melepas alat bantu nafas tak bisa aku penuhi. Sampai ketika dokter memanggil kami, menyatakan bahwa Tyaga tak lagi merespon panggilan karena kemungkinan terjadi pendarahan di otaknya, aku tak lagi meninggalkan laki-lakiku sendirian. Di satu sisi aku berharap dia bangun, tetapi di sisi lain aku seolah menyadari bahwa ia akan pergi dan aku tak mau membiarkan dia pergi tanpa kuantar.
Sampai detik ini, semua memori ini masih terus membayangi. Terlalu sakit untuk diingat. Namun rindu yang tak terbalas memancing kepingan-kepingan ingatan tentang kepergian Tyaga untuk muncul. Bagaimana caranya merindu tanpa harus terasa pilu?
“Sudah dua bulan, Je… “ Bella berkata kepadaku, “Gue tahu, biarpun kelihatannya lo ketawa- ketiwi, hati lo masih luka kan?”
Aku pura-pura tidak mendengar apa yang Bella katakan. Sambil meminum susu langsung dari kotaknya, aku duduk bersila sambil menonton Crayon Shinchan dari Youtube di layar ponselku. Bella tahu, tadi sore sepulang kerja aku mendengar sirine ambulans di parkiran apartemen kami. Suara sirine ambulans masih menjadi momok buatku, seolah mengingatkanku pada saat jenazah Tyaga di bawa ke kampung halamannya di Lampung. Bella tahu, suara itu masih menjadi trauma buatku. Hanya saja aku sok tegar seolah kuat menghadapinya.
I know, Be… But it still hurt. Gue juga pingin bahagia, Be…” sahutku.
You gonna be, Honey… You deserve to be happy, it’s just a matter of time. Asal lo nya buka hati aja, Je… Lo nggak bisa begini terus juga, kan?”
“Kadang gue ngerasa mampu, Be… Tapi kadang gue ngerasa lelah jadi kuat begini. Sehebat apa gue, sampai Tuhan percayakan hal seperti ini terjadi dalam hidup gue? Tuhan nggak akan membiarkan masalah terjadi pada kita, kalau Dia tahu kita nggak mampu ngehadapinnya. Jadi kalau ini terjadi sama gue, artinya Tuhan percaya sama gue. Memangnya sekuat apa gue?”
“Kalau begitu, sisanya lo percaya aja sama Tuhan. He’s the best master planner, Je… His plan is never failed.” Kata Bella.
“Kenapa harus gue,Be?”
Bella menggeleng. “Hanya Tuhan yang bisa menjawab pertanyaan lo.”
Everybody seems so happy, why me not?
Bella meraih belakang kepalaku, menarikku ke dalam pelukannya. Pelukan sahabat yang terasa hangat seperti pelukan seorang ibu. Bella yang tidak banyak bicara, tapi tahu apa yang kubutuhkan. Sebuah pelukan tanpa kalimat-kalimat panjang yang mendikte. Sebab tidak semua mampu paham rasanya jadi seorang Jessela yang kehilangan Tyaga. Tidak semua mau mencoba memahami seorang Jessela yang menghabiskan sebagian besar malamnya dengan meminum berkotak-kotak susu dan makan berbatang-batang cokelat untuk menenangkan diri sehabis menangis sendu.
You gonna find yours again, soon. Just be patient. God’s time is always right.
Ingatanku kembali melayang pada sehelai potret memori dua pasang kaki milik kami yang menyusuri jalan berdua. Aku memandangi kakiku dan kakinya sambil berkhayal bahwa kami akan bersama menyusuri waktu kehidupan kami berdua, melawan dunia, menikmati drama hidup, semuanya sampai memutih rambut kami.
Kini, hanya ada sepasang kaki milikku yang tertinggal di bumi ini. Tinggal aku yang kembali bertanding melawan dunia ini. Menyusuri sendiri jalan setapak kehidupan yang kupilih, tanpa Tyaga. Pertandingannya sudah selesai. Aku yang belum selesai. Aku harus berani melangkahkan kaki ini, selangkah meninggalkan cerita Tyaga di belakangku. Cerita kami sudah selesai, aku harus berani menghadapi babak lain cerita hidupku. Tanpa Tyaga.
I deserve my happiness kan, Ga?” tanyaku pada diri sendiri, namun seperti seolah bertanya pada Tyaga. Dan hati kecilku meyakini, Tyaga pasti tak mau aku terus-terusan terpuruk. Karena mendadak sepotong ingatan tentang nasihat Tyaga berkelebat di pikiranku.
“Tetap jadi kuat, Jessela. Tetap jadi kamu yang kuat dan teguh. Konsisten pada pilihanmu untuk jadi diri kamu sendiri.”
Baik, Tyaga…
Kini aku jalan lagi. Tanpa kamu. Soon, we gonna meet again ini heaven. Soon after I finish my competition. Satu langkah kakiku meninggalkanmu. Kamu mungkin  perlahan akan dilupakan dunia. Namun kamu tetap kamu buatku. Walau mungkin posisimu akan digantikan seseorang suatu saat nanti, Tyaga tetaplah Tyaga, satu-satunya lelaki yang pernah Jessela cintai dengan 100% hatinya.
Aku melangkah tanpamu, Ga… Dan aku janji, akan berusaha kuat.
“Je, besok kita red flight loh… Semua barang lo udah siap?”

Aku mengangguk, “Yap…”

No comments:

Post a Comment