1
Aku Tanpa Kamu
Bertanyalah
padaku, bagaimana rasanya dunia runtuh? Jawabnya adalah ketika kamu melihat
dengan dua pasang matamu sendiri, saat tak ada lagi denyut jantung berdetak di
dada orang yang kamu cintai. Duniaku runtuh saat aku menyadari tak akan pernah
ada lagi sepasang mata cokelat miliknya yang memandangku penuh kata. Duniaku
runtuh saat Tyaga pergi untuk selamanya. Tak pernah kembali lagi.
Tidak banyak
yang tahu, malam-malam yang kuhabiskan untuk menangis bersama sesak di dada yang
menggebu. Sendirian aku meraung di dalam kamarku, berusaha mengenyahkan segala
ingatanku di pagi buta itu. Bunyi suara mesin di ruang ICU, aroma steril
ruangan yang bercampur dengan aroma anyir darah yang terus berusaha kuseka dari
ujung bibir Tyaga, dan riuh suara perawat yang berusaha menekan dada Tyaga
dalam usaha mengembalikan denyut jantungnya, semuanya seakan berusaha membunuhku
dari dalam. Belum lagi jerit pilu tangis keluarga Tyaga yang mengiris hati,
tipis tapi perih. Hilang semua kekuatanku, luruh dalam kesedihan yang bergulung
di dalam dada ini.
Tega kamu, Ga..
Biasanya kamu
selalu ajak aku pergi, ke manapun itu. Kenapa sekarang kamu pergi sendiri? Kenapa
kamu nggak ajak aku? Kamu pergi dan nggak akan pulang lagi. Kenapa kamu begitu?
Pertanyaan
kenapa, kenapa, dan kenapa yang tak pernah benar terlontar keluar dari bibirku.
Hanya terus bergaung di dalam pikiranku sambil terus memandang Tyaga yang sudah
membujur kaku, tidur di peti peristirahatan terakhirnya. Terus kutanyakan,
bahkan sampai tubuh dingin itu terbaring nyaman di bawah tumpukan tanah.
Kenapa, Ga?
Begitu terus
sampai berminggu-minggu. Begitu terus sampai aku lelah sendiri dan hanya mampu
menangis karena tak ada jawaban pasti. Hanya sedikit terbersit di hati, entah
suara Tuhan, bahwa Tyaga pergi itu adalah yang terbaik. Dia pergi bukan sengaja
mau membuatku sakit hati. Memang sudah waktunya. Karena pada akhirnya, Tuhan
adalah Tuhan. Tak ada satupun yang mampu mengubah kehendakNya.
“Ini yang
terbaik, Je…” kata Bella, suatu malam saat dia menemukanku menangis tersedu di
pinggir tempat tidurku, memeluk sehelai kemeja milik Tyaga yang masih tersisa
aroma parfum yang biasa ia pakai.
“Gue tahu. Tapi
sakitnya belum bisa ilang, Be…”
Aku menepuk
dadaku, berusaha menghilangkan rasa sesak yang seolah meradang itu. Namun
sia-sia, semakin keras aku menepuk dadaku, toh rasa sakit itu tetap bersarang
di situ. Kehilangan yang sulit kuatasi sendiri, namun sesungguhnya tak ingin
aku bagi. Aku tahu, tak satupun akan memahami. Termasuk keluarga Tyaga. Mereka
pasti lebih sedih dan memiliki cara berduka mereka sendiri. Aku pun berduka
dengan caraku sendiri.
“Ikhlas, Je…
ikhlas…”
Dan malam itu
kuhabiskan untuk menangis dan berteriak dalam pelukan Bella. Sementara Bella
hanya diam, membiarkanku meronta dan bergulat dengan piluku. Ia tahu, hanya aku
yang mampu mengatasi semua itu. Bella tahu sesungguhnya aku paham, bahwa pada
akhirnya semua yang lahir ke dunia ini akan kembali lagi pada Penciptanya.
Hanya tak ada satupun yang tahu kapan waktunya. Hanya butuh waktu buat seorang
Jessela untuk ikhlas sepenuh hati.
Aku menghabiskan
kurang lebih dua bulan terakhirku untuk mengurus Tyaga yang tiba-tiba kembali
terserang penyakit auto-imun. Bersama dengannya lebih dari 12 jam dalam sehari.
Mengurus segala hal tentang dia. Mencukur kumis dan jenggotnya setiap 3 hari
sekali. Merapikan isi tas dan dompetnya. Menyiapkan makan pagi, makan siang,
dan makan malamnya. Mengingatkan dia minum obat. Berdoa bersamanya, pagi dan
malam. Menyentuh bagian tubuhnya yang sakit, karena kata Tyaga, itu akan
membuatnya nyaman.
“Je, aku lapar…”
Setiap ia berkata
begitu, otomatis aku langsung mengambilkan makanan untuknya. Tak jarang
menyuapinya, sementara yang disuapi asik main game di ponsel. Mungkin bagi
orang lain itu terlalu berlebihan, namun buatku, aku menikmati mengurusnya
seperti itu.
“Je, kok ulu hatiku
sakit ya…”
Awal mula dari
semuanya. Kalimat yang aku harap tak pernah terucap darinya. Titik menuju saat
aku harus kehilangan dia. Sampai ketika Tyaga, dengan alat bantu nafas di
mulutnya dan hanya dengan jari-jarinya yang lemah berusaha untuk menulis,
“Je… jangan ke
mana-mana”
Tulisan cakar
ayam terakhirnya. Permintaannya yang terakhir yang sanggup aku kabulkan, karena
permintaannya untuk melepas alat bantu nafas tak bisa aku penuhi. Sampai ketika
dokter memanggil kami, menyatakan bahwa Tyaga tak lagi merespon panggilan
karena kemungkinan terjadi pendarahan di otaknya, aku tak lagi meninggalkan
laki-lakiku sendirian. Di satu sisi aku berharap dia bangun, tetapi di sisi
lain aku seolah menyadari bahwa ia akan pergi dan aku tak mau membiarkan dia
pergi tanpa kuantar.
Sampai detik
ini, semua memori ini masih terus membayangi. Terlalu sakit untuk diingat.
Namun rindu yang tak terbalas memancing kepingan-kepingan ingatan tentang
kepergian Tyaga untuk muncul. Bagaimana caranya merindu tanpa harus terasa
pilu?
“Sudah dua
bulan, Je… “ Bella berkata kepadaku, “Gue tahu, biarpun kelihatannya lo ketawa-
ketiwi, hati lo masih luka kan?”
Aku pura-pura
tidak mendengar apa yang Bella katakan. Sambil meminum susu langsung dari
kotaknya, aku duduk bersila sambil menonton Crayon Shinchan dari Youtube di
layar ponselku. Bella tahu, tadi sore sepulang kerja aku mendengar sirine
ambulans di parkiran apartemen kami. Suara sirine ambulans masih menjadi momok
buatku, seolah mengingatkanku pada saat jenazah Tyaga di bawa ke kampung
halamannya di Lampung. Bella tahu, suara itu masih menjadi trauma buatku. Hanya
saja aku sok tegar seolah kuat menghadapinya.
“I know, Be… But it still hurt. Gue juga
pingin bahagia, Be…” sahutku.
“You gonna be, Honey… You deserve to be
happy, it’s just a matter of time. Asal lo nya buka hati aja, Je… Lo nggak
bisa begini terus juga, kan?”
“Kadang gue
ngerasa mampu, Be… Tapi kadang gue ngerasa lelah jadi kuat begini. Sehebat apa
gue, sampai Tuhan percayakan hal seperti ini terjadi dalam hidup gue? Tuhan
nggak akan membiarkan masalah terjadi pada kita, kalau Dia tahu kita nggak
mampu ngehadapinnya. Jadi kalau ini terjadi sama gue, artinya Tuhan percaya
sama gue. Memangnya sekuat apa gue?”
“Kalau begitu,
sisanya lo percaya aja sama Tuhan. He’s
the best master planner, Je… His plan is never failed.” Kata Bella.
“Kenapa harus
gue,Be?”
Bella
menggeleng. “Hanya Tuhan yang bisa menjawab pertanyaan lo.”
“Everybody seems so happy, why me not?”
Bella meraih
belakang kepalaku, menarikku ke dalam pelukannya. Pelukan sahabat yang terasa
hangat seperti pelukan seorang ibu. Bella yang tidak banyak bicara, tapi tahu
apa yang kubutuhkan. Sebuah pelukan tanpa kalimat-kalimat panjang yang
mendikte. Sebab tidak semua mampu paham rasanya jadi seorang Jessela yang
kehilangan Tyaga. Tidak semua mau mencoba memahami seorang Jessela yang
menghabiskan sebagian besar malamnya dengan meminum berkotak-kotak susu dan
makan berbatang-batang cokelat untuk menenangkan diri sehabis menangis sendu.
“You gonna find yours again, soon. Just be
patient. God’s time is always right.”
Ingatanku
kembali melayang pada sehelai potret memori dua pasang kaki milik kami yang menyusuri
jalan berdua. Aku memandangi kakiku dan kakinya sambil berkhayal bahwa kami
akan bersama menyusuri waktu kehidupan kami berdua, melawan dunia, menikmati
drama hidup, semuanya sampai memutih rambut kami.
Kini, hanya ada
sepasang kaki milikku yang tertinggal di bumi ini. Tinggal aku yang kembali
bertanding melawan dunia ini. Menyusuri sendiri jalan setapak kehidupan yang
kupilih, tanpa Tyaga. Pertandingannya sudah selesai. Aku yang belum selesai.
Aku harus berani melangkahkan kaki ini, selangkah meninggalkan cerita Tyaga di
belakangku. Cerita kami sudah selesai, aku harus berani menghadapi babak lain
cerita hidupku. Tanpa Tyaga.
“I deserve my happiness kan, Ga?” tanyaku
pada diri sendiri, namun seperti seolah bertanya pada Tyaga. Dan hati kecilku
meyakini, Tyaga pasti tak mau aku terus-terusan terpuruk. Karena mendadak
sepotong ingatan tentang nasihat Tyaga berkelebat di pikiranku.
“Tetap jadi
kuat, Jessela. Tetap jadi kamu yang kuat dan teguh. Konsisten pada pilihanmu
untuk jadi diri kamu sendiri.”
Baik, Tyaga…
Kini aku jalan
lagi. Tanpa kamu. Soon, we gonna meet
again ini heaven. Soon after I finish my competition. Satu langkah kakiku
meninggalkanmu. Kamu mungkin perlahan
akan dilupakan dunia. Namun kamu tetap kamu buatku. Walau mungkin posisimu akan
digantikan seseorang suatu saat nanti, Tyaga tetaplah Tyaga, satu-satunya
lelaki yang pernah Jessela cintai dengan 100% hatinya.
Aku melangkah
tanpamu, Ga… Dan aku janji, akan berusaha kuat.
“Je, besok kita
red flight loh… Semua barang lo udah siap?”
Aku mengangguk, “Yap…”
No comments:
Post a Comment