3
Under Construction
Pic Source : lovethispic.com |
Dulu kupikir, keren sekali nampaknya
kalau bisa menjadi salah satu peserta seminar nasional kedokteran.
Kenyataannya, membosankan luar biasa! Sudah dua jam berlalu, dan rasa-rasanya
aku sudah menguap puluhan kali. Sungguh mati gaya melihat deretan slide berisi
macam-macam bagan dan gambar yang tidak kumengerti.
Save
by the bell. My phone is ringing.
“Halo, Be?” kataku dengan berbisik, lalu
perlahan keluar dari ruangan seminar.
“Lo kenapa malah jadinya datang ke
seminar kedokteran?”
Mataku menjelajah bagian luar auditorium
tempat seminar diadakan, lalu mendapati deretan tempat duduk empuk warna biru
tua. Setelah duduk, baru aku menanggapi pertanyaan Bella. Sementara yang
ditanya-tanya sudah menggerutu dengan suara tak jelas dari seberang telepon
sana.
“Lo denger gue kagak sih, Je? Je??
Jee…???”
“Iye… Gue denger, Be… Nyari tempat pewe dulu…”
“Alesan aja lu! Sekarang kasih tahu gue,
ngapain lo datang ke seminar kedokteran? Terus, dokter Rere yang lo ceritain
kemarin, itu siapa? Lo nemu gebetan di bis? Orangnya kayak gimana, Je?
Hati-hati ya lo! Biarpun dokter, belum tentu semua dokter itu baik. Bisa jadi
doi baik cuma kalau sama pasien. Sama orang lain, ternyata doi buaya darat.
Je?? Lo dengerin gue kan??”
Aku menarik nafas panjang dan mengulum
senyum. Bella Anjani, sahabatku selama hampir 8 tahun, si muka ketus yang
sesungguhnya perhatian dan keibuan. Rombongan pertanyaan yang dilontarkannya
barusan merupakan wujud sayangnya padaku. Berkali-kali kukatakan padanya, andai
dia seorang laki-laki, mungkin dia yang akan kunikahi.
“Kerjaan lo lagi sepi, Be? Nggak ada email yang kudu dibales?” tanyaku.
Bella semakin sewot nampaknya, “Kok
malah lo yang nanya-nanya? Pertanyaan gue dijawab dulu!”
“Oke. Pertama, gue datang ke seminar ini
karena gue emang belum ada rencana di Yogya ini. Tepatnya, belum ada ide mau ke
mana. Kedua, Rere ini temen sebangku gue di bis kemarin. Bukan gebetan. Camkan
itu ya, Be! Ketiga, so far si Rere
ini tidak mengancam dan nampaknya baik. Kalau doi macem-macem, I know how to kick hard. Don’t worry.”
Aku dapat mendengar suara nafas Bella
yang dihembuskan pelan. Jawabanku belum sanggup membuatnya puas.
“Gue nggak mau lo jadi ngaco gara-gara
patah hati. Jangan sembarangan ya…”
“Be,” aku kembali mengulum senyum, paham
akan kekhawatirannya. “Lo tahu gue bukan orang yang gegabah begitu kan?”
“Jessela! Last time I saw you cried, you hold a bottle of Baygon in your hand!
Dan gue belum lupa juga, subuh-subuh lo teriak-teriak dan berantakin isi laci
dan lemari baju lo demi mencari gunting. Nggak gegabah kata lo?”
“He’s
a good guy, Be… He has a reputation to keep. Doi kerja di rumah sakit yang
terkenal. You can Google him too. He’s quite famous, ternyata…”
“Still,
Je… Gue kuatir. Bukan perkara siapa si Rere ini. Lebih ke lo sendiri, Je. Lo
beneran nggak papa di sana sendirian?”
Gantian aku yang menghela nafas panjang.
Aku tidak mau mengatakan sesuatu yang tak sungguh jujur. Dalam hatiku
sesungguhnya tak yakin, apakah aku akan baik-baik saja. Aku masih berharap,
Tuhan bersedia memanggilku pulang juga. Lelah sekali rasanya patah hati.
“Promise
me, Jessela. You are going to be fine.”
“I’m
trying my best, Be…”
Ingatanku kembali pada kejadian di pagi
buta itu. Hari Rabu, sekitar pukul tiga.
Aku masih berjuang melawan trauma yang
terjadi di alam bawah sadarku. Tyaga dinyatakan meninggal dunia oleh dokter di
hari Rabu, pukul setengah lima pagi. Sejak saat itu, bukan dengan keinginanku,
aku selalu terbangun di pagi buta setiap hari Rabu. Dadaku sesak, dan bayangan
ketika ruang ICU riuh dengan paramedis yang mencoba melakukan pertolongan pada
Tyaga kembali terlintas. Ritme suara mesin EKG dan suara alat bantu nafas yang
perlahan menghilang itu seolah berdengung di telingaku. Nafasku sesak,
membuatku ingin mati saja saat itu. Sungguh, aku ingin mati saja.
Berbagai usaha untuk menghabisi nyawaku
sendiri kulakukan di bawah alam sadarku. Bella menjadi semacam was-was setiap
Selasa malam. Ia harus selalu membuka telinganya lebar-lebar dan bersiap untuk
berlari secepat mungkin menghampirku kalau didengarnya aku berteriak. Semua
alat yang tajam, obat serangga, dan apapun yang kira-kira mengancam sengaja ia
sembunyikan. Tapi selalu ada saja caraku untuk menyakiti diriku sendiri.
Otomatis aku menyentuh memar di pelipis
kananku. Lebam yang tidak pernah tuntas sembuh karena seringkali aku
membenturkan kepalaku di dinding. Semua kulakukan di alam bawah sadarku.
Dan hari ini adalah hari Selasa.
“Je? Please…”
“It’s
under my conscious, Be… Let’s pray.”
Tiba-tiba aku merasa ada sebuah tangan
menepuk bahuku. Refleks karena kaget, aku bergidik dan tanpa sengaja
menjatuhkan ponselku. Rere berdiri, cengar-cengir sendiri melihatku melongo.
Aku tahu dia tidak bermaksud membuatku sampai sekaget itu.
“Lagi istirahat. Jadi saya cari kamu.
Pasti kamu bosen…”
Aku mengangguk jujur, kemudian memberi
kode pada Rere untuk boleh menyelesaikan pembicaraanku dengan Bella. Rere
mengangguk dan segera membantu untuk mengambil ponselku yang terlempar lumayan
jauh. Buru-buru ia berikan padaku, sepertinya paham kalau orang di seberang
telepon bisa saja panik karena aku tak memberi respon terlalu lama.
“Be, nanti gue telepon lagi. Lo kerja
lagi aja…”
“Ok.”
“Bella, teman saya yang menelepon,”
kataku. Entah untuk apa aku harus menjelaskan siapa yang meneleponku pada Rere.
“Sorry ya, saya benar-benar mati gaya
di dalam sana. Ngantuk.”
Rere tersenyum, “It’s okay. Malah saya yang jadi nggak enak hati sama kamu. Jadi
membawa kamu dalam pencobaan.”
“Yehh, nggak segitunya juga kalii…”
Rere duduk di sebelahku dan merogoh
sesuatu dari bagian dalam jas panjang abu-abu yang dikenakannya. “Mau roti, Je?
Udah jam makan siang.”
Aku menerima rotinya lalu bertanya, “Kamu
suka banget roti ya?”
“Makan roti jelas lebih mendingan
daripada makan mie instant…”
“Nasihat dokter sekali ya…” kataku, lalu
berusaha membuka bungkusan roti dari Rere. Herannya, bungkusan tersebut sulit
sekali dibuka.
Tanpa ijin dulu dariku, Rere mengambil
roti tersebut dan membuka bungkusnya. Aku hanya bisa melihat semua yang
dilakukannya tanpa berbuat apa-apa, bingung juga harus merespon apa. Bukan hal
yang biasa untukku menerima pertolongan dari seorang laki-laki, apalagi yang
baru dikenal. Selama bersama Tyaga, memang lebih banyak aku yang membantu dan
mengerjakan banyak hal untuk Tyaga. Bagiku, sudah kodratnya perempuan melayani
laki-laki, menjadi asisten bagi mereka. Bukan berarti menjadi bawahan, tetapi
selalu ada di sisi laki-laki yang dicintai.
“Jessela?”
Aku menoleh, tetapi butuh beberapa detik
untuk menjawab panggilannya. “Mmh? Ya?”
“Sejak kapan tangan kamu begini? Tremor.”
Tremor?
Butuh sepersekian detik lagi untuk
mengerti maksud dari pertanyaan Rere. Sampai laki-laki ini meraih lenganku dan
menunjukkannya di depan wajahku. Tidak terlalu jelas, tetapi sungguh aku
melihat ujung-ujung jemariku yang bergetar aneh. Bagaimana mungkin aku tidak
menyadarinya?
“Saya baru tahu…” desahku. Aku seperti
linglung.
“Kamu mau cerita sama saya, Jessela?
Sebenarnya apa alasan kamu ke Yogya?”
Dan aku mulai berteriak pada Tuhan,
walau hanya mampu kulakukan dalam hati. Keadaan macam apa lagi yang harus
kuhadapi saat ini? Aku mungkin seseorang yang ekstrovert. Aku cukup verbal
dalam mengungkapkan pendapatku, tetapi tidak untuk urusan hati. Bahkan kepada
orang tuaku dan Bella, aku hanya membiarkan mereka menerka-nerka. Yahh,
walaupun banyak dari terkaan mereka benar. Itu juga karena mereka terlalu
mengenalku dengan baik.
Insecure. Mungkin itu
kata yang paling tepat untuk menggambarkan alasan mengapa aku hidup seperti
ini. Perasaan takut disakiti dan dikecewakan membuatku seolah protektif
berlebihan pada diriku sendiri. Menurutku, yang bisa menyelamatkan diriku
sendiri adalah aku. Siapapun bisa melukai. Bukankah manusia di dunia ini pada
hakikatnya diciptakan untuk bertahan dan bersaing? Maka dari itu, jangan mudah
percaya pada orang lain.
Tyaga adalah laki-laki pertama yang
berhasil membuatku percaya. Ia adalah satu-satunya laki-laki yang sanggup
membuatku bergantung dan berpengharapan. Kejujuran dan ketulusannya membuatku
akhirnya mau membuka diriku. Bersama Tyaga, aku menjadi wanita yang belajar
untuk menerima fakta, laki-laki diciptakan dengan bahu yang lebih lebar supaya
wanita bisa bersandar dan tidak berusaha kuat sendiri.
Setelah itu Tuhan mengambil Tyaga.
Meninggalkan aku yang jadi lemah dan seolah tak punya perlindungan. Tyaga pergi
dan aku harus kembali membangun tembok perlindungan lagi. Aku seperti merangkak
untuk bisa bangkit dan kuat seperti sebelum mengenal Tyaga. It's not easy. I wanna die everyday in my struggle. Aku tidak suka begini terus. Tembok itu harus tegak lagi secepatnya.
Dan tembok itu belum selesai dibangun, tapi
Tuhan mempertemukanku dengan Rere. Apa maksudmu, Tuhanku? Engkau mau aku jadi
lemah? Apa Kau tega melihat aku yang berdoa siang malam padaMu ini tersiksa
terus menerus?
“Jessela…?”
"Hati saya hancur, Rere..."