December 29, 2017

Jessela - Part 3 Under Construction


3
Under Construction

Pic Source : lovethispic.com

Dulu kupikir, keren sekali nampaknya kalau bisa menjadi salah satu peserta seminar nasional kedokteran. Kenyataannya, membosankan luar biasa! Sudah dua jam berlalu, dan rasa-rasanya aku sudah menguap puluhan kali. Sungguh mati gaya melihat deretan slide berisi macam-macam bagan dan gambar yang tidak kumengerti.
Save by the bell. My phone is ringing.
“Halo, Be?” kataku dengan berbisik, lalu perlahan keluar dari ruangan seminar.
“Lo kenapa malah jadinya datang ke seminar kedokteran?”
Mataku menjelajah bagian luar auditorium tempat seminar diadakan, lalu mendapati deretan tempat duduk empuk warna biru tua. Setelah duduk, baru aku menanggapi pertanyaan Bella. Sementara yang ditanya-tanya sudah menggerutu dengan suara tak jelas dari seberang telepon sana.
“Lo denger gue kagak sih, Je? Je?? Jee…???”
“Iye… Gue denger, Be… Nyari tempat pewe dulu…”
“Alesan aja lu! Sekarang kasih tahu gue, ngapain lo datang ke seminar kedokteran? Terus, dokter Rere yang lo ceritain kemarin, itu siapa? Lo nemu gebetan di bis? Orangnya kayak gimana, Je? Hati-hati ya lo! Biarpun dokter, belum tentu semua dokter itu baik. Bisa jadi doi baik cuma kalau sama pasien. Sama orang lain, ternyata doi buaya darat. Je?? Lo dengerin gue kan??”
Aku menarik nafas panjang dan mengulum senyum. Bella Anjani, sahabatku selama hampir 8 tahun, si muka ketus yang sesungguhnya perhatian dan keibuan. Rombongan pertanyaan yang dilontarkannya barusan merupakan wujud sayangnya padaku. Berkali-kali kukatakan padanya, andai dia seorang laki-laki, mungkin dia yang akan kunikahi.
“Kerjaan lo lagi sepi, Be? Nggak ada email yang kudu dibales?” tanyaku.
Bella semakin sewot nampaknya, “Kok malah lo yang nanya-nanya? Pertanyaan gue dijawab dulu!”
“Oke. Pertama, gue datang ke seminar ini karena gue emang belum ada rencana di Yogya ini. Tepatnya, belum ada ide mau ke mana. Kedua, Rere ini temen sebangku gue di bis kemarin. Bukan gebetan. Camkan itu ya, Be! Ketiga, so far si Rere ini tidak mengancam dan nampaknya baik. Kalau doi macem-macem, I know how to kick hard. Don’t worry.”
Aku dapat mendengar suara nafas Bella yang dihembuskan pelan. Jawabanku belum sanggup membuatnya puas.
“Gue nggak mau lo jadi ngaco gara-gara patah hati. Jangan sembarangan ya…”
“Be,” aku kembali mengulum senyum, paham akan kekhawatirannya. “Lo tahu gue bukan orang yang gegabah begitu kan?”
“Jessela! Last time I saw you cried, you hold a bottle of Baygon in your hand! Dan gue belum lupa juga, subuh-subuh lo teriak-teriak dan berantakin isi laci dan lemari baju lo demi mencari gunting. Nggak gegabah kata lo?”
He’s a good guy, Be… He has a reputation to keep. Doi kerja di rumah sakit yang terkenal. You can Google him too. He’s quite famous, ternyata…”
Still, Je… Gue kuatir. Bukan perkara siapa si Rere ini. Lebih ke lo sendiri, Je. Lo beneran nggak papa di sana sendirian?”
Gantian aku yang menghela nafas panjang. Aku tidak mau mengatakan sesuatu yang tak sungguh jujur. Dalam hatiku sesungguhnya tak yakin, apakah aku akan baik-baik saja. Aku masih berharap, Tuhan bersedia memanggilku pulang juga. Lelah sekali rasanya patah hati.
Promise me, Jessela. You are going to be fine.”
I’m trying my best, Be…”

Ingatanku kembali pada kejadian di pagi buta itu. Hari Rabu, sekitar pukul tiga.
Aku masih berjuang melawan trauma yang terjadi di alam bawah sadarku. Tyaga dinyatakan meninggal dunia oleh dokter di hari Rabu, pukul setengah lima pagi. Sejak saat itu, bukan dengan keinginanku, aku selalu terbangun di pagi buta setiap hari Rabu. Dadaku sesak, dan bayangan ketika ruang ICU riuh dengan paramedis yang mencoba melakukan pertolongan pada Tyaga kembali terlintas. Ritme suara mesin EKG dan suara alat bantu nafas yang perlahan menghilang itu seolah berdengung di telingaku. Nafasku sesak, membuatku ingin mati saja saat itu. Sungguh, aku ingin mati saja.
Berbagai usaha untuk menghabisi nyawaku sendiri kulakukan di bawah alam sadarku. Bella menjadi semacam was-was setiap Selasa malam. Ia harus selalu membuka telinganya lebar-lebar dan bersiap untuk berlari secepat mungkin menghampirku kalau didengarnya aku berteriak. Semua alat yang tajam, obat serangga, dan apapun yang kira-kira mengancam sengaja ia sembunyikan. Tapi selalu ada saja caraku untuk menyakiti diriku sendiri.
Otomatis aku menyentuh memar di pelipis kananku. Lebam yang tidak pernah tuntas sembuh karena seringkali aku membenturkan kepalaku di dinding. Semua kulakukan di alam bawah sadarku.
Dan hari ini adalah hari Selasa.

“Je? Please…”
It’s under my conscious, Be… Let’s pray.”
Tiba-tiba aku merasa ada sebuah tangan menepuk bahuku. Refleks karena kaget, aku bergidik dan tanpa sengaja menjatuhkan ponselku. Rere berdiri, cengar-cengir sendiri melihatku melongo. Aku tahu dia tidak bermaksud membuatku sampai sekaget itu.
“Lagi istirahat. Jadi saya cari kamu. Pasti kamu bosen…”
Aku mengangguk jujur, kemudian memberi kode pada Rere untuk boleh menyelesaikan pembicaraanku dengan Bella. Rere mengangguk dan segera membantu untuk mengambil ponselku yang terlempar lumayan jauh. Buru-buru ia berikan padaku, sepertinya paham kalau orang di seberang telepon bisa saja panik karena aku tak memberi respon terlalu lama.
“Be, nanti gue telepon lagi. Lo kerja lagi aja…”
“Ok.”
“Bella, teman saya yang menelepon,” kataku. Entah untuk apa aku harus menjelaskan siapa yang meneleponku pada Rere. “Sorry ya, saya benar-benar mati gaya di dalam sana. Ngantuk.”
Rere tersenyum, “It’s okay. Malah saya yang jadi nggak enak hati sama kamu. Jadi membawa kamu dalam pencobaan.”
“Yehh, nggak segitunya juga kalii…”
Rere duduk di sebelahku dan merogoh sesuatu dari bagian dalam jas panjang abu-abu yang dikenakannya. “Mau roti, Je? Udah jam makan siang.”
Aku menerima rotinya lalu bertanya, “Kamu suka banget roti ya?”
“Makan roti jelas lebih mendingan daripada makan mie instant…”
“Nasihat dokter sekali ya…” kataku, lalu berusaha membuka bungkusan roti dari Rere. Herannya, bungkusan tersebut sulit sekali dibuka.
Tanpa ijin dulu dariku, Rere mengambil roti tersebut dan membuka bungkusnya. Aku hanya bisa melihat semua yang dilakukannya tanpa berbuat apa-apa, bingung juga harus merespon apa. Bukan hal yang biasa untukku menerima pertolongan dari seorang laki-laki, apalagi yang baru dikenal. Selama bersama Tyaga, memang lebih banyak aku yang membantu dan mengerjakan banyak hal untuk Tyaga. Bagiku, sudah kodratnya perempuan melayani laki-laki, menjadi asisten bagi mereka. Bukan berarti menjadi bawahan, tetapi selalu ada di sisi laki-laki yang dicintai.
“Jessela?”
Aku menoleh, tetapi butuh beberapa detik untuk menjawab panggilannya. “Mmh? Ya?”
“Sejak kapan tangan kamu begini? Tremor.”
Tremor?
Butuh sepersekian detik lagi untuk mengerti maksud dari pertanyaan Rere. Sampai laki-laki ini meraih lenganku dan menunjukkannya di depan wajahku. Tidak terlalu jelas, tetapi sungguh aku melihat ujung-ujung jemariku yang bergetar aneh. Bagaimana mungkin aku tidak menyadarinya?
“Saya baru tahu…” desahku. Aku seperti linglung.
“Kamu mau cerita sama saya, Jessela? Sebenarnya apa alasan kamu ke Yogya?”
Dan aku mulai berteriak pada Tuhan, walau hanya mampu kulakukan dalam hati. Keadaan macam apa lagi yang harus kuhadapi saat ini? Aku mungkin seseorang yang ekstrovert. Aku cukup verbal dalam mengungkapkan pendapatku, tetapi tidak untuk urusan hati. Bahkan kepada orang tuaku dan Bella, aku hanya membiarkan mereka menerka-nerka. Yahh, walaupun banyak dari terkaan mereka benar. Itu juga karena mereka terlalu mengenalku dengan baik.
Insecure. Mungkin itu kata yang paling tepat untuk menggambarkan alasan mengapa aku hidup seperti ini. Perasaan takut disakiti dan dikecewakan membuatku seolah protektif berlebihan pada diriku sendiri. Menurutku, yang bisa menyelamatkan diriku sendiri adalah aku. Siapapun bisa melukai. Bukankah manusia di dunia ini pada hakikatnya diciptakan untuk bertahan dan bersaing? Maka dari itu, jangan mudah percaya pada orang lain.
Tyaga adalah laki-laki pertama yang berhasil membuatku percaya. Ia adalah satu-satunya laki-laki yang sanggup membuatku bergantung dan berpengharapan. Kejujuran dan ketulusannya membuatku akhirnya mau membuka diriku. Bersama Tyaga, aku menjadi wanita yang belajar untuk menerima fakta, laki-laki diciptakan dengan bahu yang lebih lebar supaya wanita bisa bersandar dan tidak berusaha kuat sendiri.
Setelah itu Tuhan mengambil Tyaga. Meninggalkan aku yang jadi lemah dan seolah tak punya perlindungan. Tyaga pergi dan aku harus kembali membangun tembok perlindungan lagi. Aku seperti merangkak untuk bisa bangkit dan kuat seperti sebelum mengenal Tyaga. It's not easy. I wanna die everyday in my struggle. Aku tidak suka begini terus. Tembok itu harus tegak lagi secepatnya.
Dan tembok itu belum selesai dibangun, tapi Tuhan mempertemukanku dengan Rere. Apa maksudmu, Tuhanku? Engkau mau aku jadi lemah? Apa Kau tega melihat aku yang berdoa siang malam padaMu ini tersiksa terus menerus?

“Jessela…?”
"Hati saya hancur, Rere..."

December 28, 2017

Star Wars : The Last Jedi - Good Vs Bad


Akhir tahun 2017 ini ditutup dengan keren oleh Star Wars - The Last Jedi.

Gue bukan seorang penggemar Star Wars yang fanatik, tapi Star Wars belum pernah mengecewakan gue secara mendalam. Dua film terakhirnya, Force Awakens dan The Last Jedi kali ini sungguh bikin gue keluar dari bioskop dengan hati puas.

Melanjutkan dari film sebelumnya, Rey (Daisy Ridley) yang berhasil tiba di Acht-To dan bertemu dengan Luke Skywalker (Mark Hamill). Apakah kira-kira Master Luke mau menjadi mentor Rey agar dapat menjadi Jedi selanjutnya?

Sementara Rey berusaha mendapatkan pengajaran dari Luke, Jendral Leia Organa (Carrie Fisher) masih berperang melawan bersama The Rebellion melawan Supreme Leader Snoke, Sang Pemimpin dari First Order. Masih dibantu dengan Pilot Poe Dameron (Oscar Issac), ternyata usaha perlawanan mereka seperti ke arah jalan buntu.

Film ini tidak hanya menunjukkan bagaimana Rey, Si Jedi terakhir ini berusaha mendapatkan pengajaran dari Master Luke, tetapi juga menyorot hubungan antara Rey dan Kylo Ren (Adam Driver). Karena seperti di Force Awakens, Rey dan Kylo seperti memiliki relasi tertentu yang memungkinkan mereka berkomunikasi dan saling memahami satu sama lain.
Ini yang gue suka!


Star Wars berhasil menemukan cast yang pas untuk tokoh Kylo Ren dan Rey. Adam Driver bagus banget menunjukkan kepada kita, bagaimana complicated-nya seorang Ben Solo. Have strong power tapi emosional, childish, dan tanpa pemikiran yang matang.
Lepas dari sentimen pribadi gue karena doi dengan teganya membunuh ayahnya sendiri, Han Solo (my favorite Star Wars character all the time), Ben Solo adalah karakter yang menarik. Gimana ya? Doi nggak jelas gitu maunya apa.
Daisy Ridley, gue nggak yakin tokoh Rey bisa dimainkan dengan apik oleh aktris lain selain dia. Sebagai seorang perempuan, gue ngerasa proud nggak jelas gitu. Girls power terlihat jelas sekali di film Star Wars ini.

Gue gender banget ya? Hahahaha!


Lalu...
Hati gue agak gimanaa gitu ngelihat Carrie Fisher di Star Wars - The Last Jedi ini. Gimana nantinya keberadaan Princess Leia di film selanjutnya? Sedih gue...
Terus hati gue kembali hangat dan kemudian gue terharu melihat reuni Skywalker Siblings lagi di film ini. Beneran udah kayak roller coaster lah.


Sudah... sudah.. selesai ah sedihnya!
Balik lagi ngomong soal karakter di Star Wars kali ini, nggak cuma Adam Driver dan Daisy Ridley yang keren banget, beberapa karakter baru seperti Rose Tico (Kelly Marie), Laksamana Holdo (Laura Dern), dan si menyebalkan DJ (Benicio Del Toro) juga tampil memukau banget. Rose bakal berdampingan dengan Finn (John Boyega) dan BB-8.
Aaaahh! BB-8, Si droid imut milik Poe ini punya peran lumayan banyak di Star Wars kali ini.

Cumaaa... kali ini nggak cuma BB-8 yang imut.
Gue malah tertarik sama beberapa makhluk unik yang nampil di Star Wars - The Last Jedi ini. Seperti yang gue bilang, BB-8 punya saingan imut.

Ada Porg! Makhluk yang bentuknya kayak ayam kawin silang sama burung hantu, dengan mata yang besar macam tokoh anime dan badan yang bantet lucu.

Oh hi, Chewie!
Lalu ada Vulptex, rubah kristal yang cantik.

The Vulptex of Crait

Ada juga makhluk yang macam kuda, tapi mukanya mirip kambing sendu. Gue nggak tahu namanya. Dari hasil searching gue, ternyata makhluk itu bernama The Fathiers of Canto Bight. Susah yeh namanya??
(Source : http://www.latimes.com/entertainment/movies/la-et-mn-star-wars-the-last-jedi-porgs-caretakers-fathier-milk-20171228-htmlstory.html)

The Fathiers of Canto Bight
Nggak cuma itu, ada juga makhluk lucu pendek bantet bermuka mirip ikan. Namanya The Caretaker. Makhluk ini berpakaian mirip kayak biarawati ordo. Mereka merawat Luke dan Kuil Jedi yang ada di Acht-To. Kata Luke pada Rey, mereka ini penduduk asli pulau tersebut.
Seriusan, mereka cute dan entah mengapa sebel banget sama Rey.

The Caretakers
The Thala-Sirens

Terakhir, yang kali ini nggak ada lucu-lucunya kalau menurut gue.
Thala Sirens ini adalah makhluk raksasa aneh mirip-mirip kayak gajah laut, tapi versi yang lebih jelek. Makhluk ini nempel di pinggiran tebing pulau Acht-To, dan digambarkan setinggi 18 kaki. Di film, Master Luke diceritakan selalu memerah susu dari makhluk ini setiap hari.
Dan susunya warna ijo...!!


Above all, film berdurasi kurang lebih 2 jam setengah ini berhasil membawa penontonnya seolah ikut terlibat dalam kisah mereka. Serunya, emosinya, gue dapetin.
Jadi, from 5 stars, I give 4 stars.

So, buruan nonton deh!
Happy watching and May the Force be with you!

December 27, 2017

Jessela - Part 2 They Said, Life is About Moving On

2
They Said, Life is About Moving On

Picture Source : 6seconds.org

Aku bergidik sedikit saat hembusan angin dari pendingin ruangan menabrak permukaan tengkukku pagi itu. Bis yang kutumpangi melaju di pagi buta. Mataku bahkan masih terasa berat. Masih sekitar 8 jam lagi sebelum tiba di Yogyakarta.
“Udah sampe belum?” tanya Bella dari seberang telepon sana.
Aku menggeleng. Lupa kalau Bella tidak bisa melihat gerakan kepalaku itu karena kami bukan sedang ber-video call.  Iya, kadang aku bisa sebodoh itu.
“Masih sekitar 8 jam lagi,Be… Tadi bisnya mogok.”
“Hah? Mogok? Kok bisa?”
“Ya bisa lahh… namanya juga mesin!”
“Oohh…” sahut Bella, aku tahu dia tak punya kata-kata lain untuk didebat.
“Gue udah makan kok,Be… Makan roti sama minum susu. Udah minum obat anti mabok darat. Nanti kalau gue udah sampe, gue kabarin lagi ya,Be…” jelasku.
Bella bukan seorang sahabat yang romantis secara lisan. Dia mungkin terlihat ketus, dingin, dan kejam dari luar penampilannya, tetapi begitu mengenalnya, baru tahu bahwa sesungguhnya Bella adalah sahabat yang sangat pengertian dan penuh sayang.
“Ok deh. Hati-hati ya, Je…”
“Heemh,” lalu kututup pembicaraan kami dan memasukan ponselku ke dalam tas bahuku asal-asalan.
Pandanganku kembali kulempar pada pemandangan di luar kaca bis. Pepohonan yang berdiri tegak walaupun sepertinya angin di luar sana bolak balik menghembus kasar daun-daun dan rantingnya. Andai manusia bisa sekuat dan setegar pohon, tidak mudah tumbang walau diterjang penyakit apapun.
Ish! Lagi-lagi aku mendramatisir kehidupanku.
Berhari-hari, bahkan berminggu-minggu aku menghabiskan beberapa waktuku secara sia-sia, mempertanyakan mengapa manusia bisa meninggal dengan mudah? Mengapa penyakit bisa datang tiba-tiba lalu mengambil nyawa seseorang dalam hitungan hari? Mengapa orang baik meninggal begitu cepat, sedangkan orang jahat yang didoakan cepat mati malah nggak mati-mati?
Pertanyaan yang tak akan bisa kujawab sendiri.
Pertanyaan yang mempertanyakan hak prerogatif Tuhan.
Karena pada akhirnya, Tuhan adalah Tuhan. Siapalah kita manusia ini sehingga berhak mempertanyakan keputusannya? Siapalah kita manusia ini sehingga kita berhak marah atas segala yang sudah ditentukannya dalam hidup kita? Pada hakikatnya, kita datang ke dunia ini karenaNya, dan nantinya pun akan kembali lagi pulang menghadapNya. Hidup ini hanya perjalanan.
Semua pengertian itu terkadang masih belum cukup buatku untuk memahami, mengapa Tyaga meninggalkanku. Semua pengertian tadi masih belum sanggup menyembuhkan hatiku yang terluka karena ditinggalkan saat kami sedang saling cinta-cintanya. Romantisme manusia yang seringkali membuatku merasa durhaka pada Sang Pencipta.
Sorry, tasnya…”
Aku menoleh dan mendapati seorang laki-laki yang kemungkinan usianya sepantaran denganku, atau mungkin lebih tua dariku sedikit, tersenyum sambil menoleh ke arah tas bahu yang kutaruh di kursi kosong di sebelahku. Kursi itu kosong sejak semalam, mungkin laki-laki ini pemiliknya. Baru aku menyadari kalau bis ini sudah berhenti di pool singgah.
“Oh, iya.. iya.. silahkan.”
“Tujuan ke Yogya juga?”
Aku tersenyum simpul menanggapi pertanyaan laki-laki ini. Aku tahu, niatnya mungkin hanya untuk ramah tamah. Pertanyaan retoris. Ke mana lagi kalau bukan Yogya? Semuanya juga tahu kalau tujuan akhir bis ini adalah ke Yogyakarta. Namun melihat penampilannya, laki-laki ini tidak ada tampang spesies buaya darat. Maka itu kusimpulkan, pertanyaan tadi hanya untuk memecah suasana.
“Iya.” Jawabku.
“Basi ya pertanyaannya?”
Aku pun tertawa kecil. Rupanya laki-laki ini juga merasa garing sendiri dengan pertanyaannya.
“Mungkin pertanyaan seharusnya adalah, sendirian aja ke Yogya nya?” kataku berusaha untuk bersikap ramah juga pada laki-laki ini.
“Kalau saya tanya begitu, bukannya malah terlihat seperti punya niat buruk?”
Are you?”
Otomatis lehernya langsung menggeleng seru, “Of course not!”
“Jessela,” kataku sambil mengulurkan tangan, “Menyebutkan nama terlebih dahulu, bukan berarti saya gampangan loh ya..”
“Rere,” katanya lalu menyambut uluran tanganku, “Nickname sih, aslinya Regan.”
“Ooo…” Cuma itu yang keluar dari mulutku. Vokal bulat satu itu memang paling cocok dipakai untuk mengatasi mati gaya karena tidak tahu harus merespon apa.
“Ke Yogya karena liburan?”
Aku menggeleng, “Nope. Ke Yogya karena lari.”
Rere mengernyit bingung. “You’re in the bus now. Not running…”
Aku praktis tertawa. Entah mengapa aku tertawa, otomatis keluar begitu saja. Terlalu mudah akrab dengan orang yang baru dikenal, seperti bukan aku.
“Kalau Rere? Ngapain ke Yogya? Liburan?”
Rere menggeleng, “Aku ada seminar.”
“Seminar?” tanyaku sekali lagi. “Seminar apa?”
Rere merogoh sesuatu dari dalam saku belakang celana jeans, mengambil sebuah dompet berwarna abu-abu kemudian membukanya. Dari salah satu sisi dalam dompetnya, Rere mengeluarkan sebuah kartu identitas yang dikeluarkan oleh salah satu rumah sakit swasta di Jakarta.
dr. Reganio Petra, Sp.BS
“Dokter?” tanyaku, sama tidak pentingnya dengan pertanyaan Rere soal Yogya tadi.
Rere mengangguk, “Nggak ada tampang dokter ya?”
“Sejujurnya, iya. Kamu terlihat terlalu muda untuk jadi seorang dokter dengan gelar spesialis.”
Sesaat timbul perasaan bersalahku pada almarhum Tyaga. Baru sekitar dua bulan sejak Tyaga pergi. Bahkan sekalipun aku belum sanggup pergi mengunjungi makamnya sejak terakhir aku terduduk menangis meraung di dekat nisannya. Sekarang aku sudah bicara akrab dengan laki-laki yang baru kukenal dalam hitungan menit di bis. Apakah pantas?
“Jessela?”
“Oh? Ya?”
“Bisnya udah jalan…”
Aku mengangguk pada Rere, tetapi pikiranku melayang pada potongan kejadian yang terjadi dua hari setelah hari pemakaman Tyaga. Pertanyaan yang berlari di depan mataku, di tengah goncangan kapal feri yang membawaku kembali dari kampung halaman Tyaga, tempat Tyaga dimakamkan.
Apakah aku bisa mencintai laki-laki lain 100% seperti yang sudah kulakukan pada Tyaga?
Banyak laki-laki baik di dunia ini, namun apakah ada laki-laki baik yang mau menerima perempuan yang hatinya patah dan remuk seperti milikku?
Aku seorang perempuan yang tak mudah jatuh hati. Tetapi sekali aku jatuh, aku jatuh begitu dalam. Tyaga sudah membuatku jatuh begitu dalamnya. Apakah masih ada laki-laki yang sudi menarik bangkit wanita yang jatuh karena laki-laki lain?
Apakah aku masih layak berharap bisa dicintai laki-laki lain?
Apakah masih bisa aku bermimpi mendapatkan laki-laki yang mencintaiku apa adanya tanpa tuntutan? Apakah bisa aku menemukan laki-laki itu?
Life is about moving on, Jessela…
Mendadak sebaris nasihat dari Bella terngiang. Move on? Bukannya tidak mau. Aku berusaha. Sungguh! Tetapi rasa takut ditinggalkan seperti menghalangi. Aku tidak mau patah hati berkali-kali. Rasa sakitnya sungguh keterlaluan, sampai aku berpikir, mati mungkin lebih baik.
“Mau roti, Je?”
Aku menoleh dan mendapati Rere menyodorkan sebuah kotak makan Tupperware warna hijau tua yang berisi potongan sandwich. Lembaran keju dengan potongan tomat berwarna merah dan suwiran daging yang menyembul di sisinya nampak menggoda. Pak dokter dan kotak makan Tupperware. Mendadak aku merasa itu imut.
“Kok malah ketawa, Je?”
Aku menggeleng pelan dan mengambil sepotong sandwich dari kotak makan Rere. “Nggak papa. Ngerasa lucu aja…”
“Selama di Yogya, rencana mau ke mana aja, Je?”
“Nggak tahu. Ikutin mood aja.”
“Loh? Kok begitu?”
“Memangnya kenapa?”
“Mau ikut ke seminar saya? Nggak usah kuatir masalah masuknya, saya pembicaranya kok.”


It’s gonna be a long trip…

December 26, 2017

Ayat-Ayat Cinta 2 - Menepis Kualitas Akting Demi Pesan Moral



Thanks to Ovo, gue jadi bisa dapat tiket murah nonton film ini. Hahaha! (Maafkan naluri wanita gue yang cinta banget sama promo...)

Namun tanpa promo pun sebenarnya gue sudah berniat nonton film ini. Ditambah lagi keberadaan Chelsea Islan dan Tatjana Saphira bikin gue tambah penasaran. Plus, gue suka nonton film yang mengambil setting di Eropa. Itu sih alasan receh gue.

So, tanggal 24 Desember kemarin, gue nonton film ini. Mungkin gue satu-satunya wanita non muslim dan tentunya tak berhijab sendiri yang ada di sana. Some people look at me with that weird expression. Well, gue nggak mau negative thinking. Terserah orang mau anggap apa, gue menonton film ini karena Ayat Ayat Cinta 1 meninggalkan kesan positif buat gue.

Ok, Ayat Ayat Cinta 2 dimulai dengan Fahri (Fedi Nuril) yang tak lagi seorang mahasiswa sederhana. Ia adalah seorang dosen Filologi yang mengajar di universitas ternama di Edinburgh. Bukan lagi anak seorang penjual tape (If I not make a mistake), melainkan juga seorang pengusaha yang memiliki jaringan minimarket di sana. But still, he's an angelic man.
Bedanya, tak ada Aisha di awal cerita. Karena Aisha diceritakan tak ada lagi kabarnya setelah menjadi relawan di jalur Gaza. Diceritakan juga Fahri tinggal bersama asisten pribadinya, Hulusi (Pandji Pragiwaksono) dan kemudian datang temannya Misbah (Arie Untung) yang menumpang di rumahnya. Kesedihan Fahri yang berusaha percaya bahwa , mungkin saja Aisha masih hidup, sedikit tertepis karena keberadaan Hulusi dan Misbah.

Source : Google.com

Walau seorang yang baik, sebagai seorang muslim, hidup Fahri tak lantas mudah. Tinggal di lingkungan dengan tetangga yang majemuk, Fahri seringkali mendapat tuduhan negatif. Contohnya, Keira (Chelsea Islan) dan adiknya, Jason yang kerap kali mengatainya sebagai monster dan teroris, lantaran ayah mereka tewas dalam insiden pemboman yang dilakukan oleh teroris di London. Lalu, nenek Catarina (Dewi Irawan), seorang wanita Yahudi yang sempat mencurigai Fahri dan Hulusi saat menolong Brenda (Nur Fazura) tetangga mereka yang pulang dalam keadaan mabuk. Tapi ya Fahri tetap Fahri, biarpun dituduh yang tidak-tidak, ia tetap baik.
Memang nggak masuk akal si Fahri ini...

Source : Google.com

Hidup Fahri berubah saat Hulya (Tatjana Saphira), keponakan Aisha, tiba-tiba datang dalam kehidupannya. Hulya yang cerdas, ceria, dan berkepribadian menyenangkan membuat Fahri menjadi seperti jungkir balik. Hulya yang terang-terangan menunjukkan ketertarikannya pada Fahri membuat laki-laki itu merasa ragu. Hati kecil Fahri merasa kalau Aisha masih hidup. Menerima hati Hulya berarti membuatnya mengkhianati istrinya yang sangat dicintai itu.
Lalu datang Sabina (Dewi Sandra), seorang wanita sebatang kara dengan wajah yang rusak sebagian, yang ditampung Fahri dan membantunya mengurusi rumah tangga.

Stop here! Gue udah spoiler banyak.

Kalau ditanya tentang sisi islaminya, gue mungkin nggak tahu banyak. Tapi sebagai seorang non muslim yang sangat mencintai karya sastra - tak peduli karya sastra dari agama apa, Ayat-Ayat Cinta menunjukkan betapa Islam adalah agama yang penuh kasih. Tak beda jauh dengan agama lainnya, Islam mengajarkan kasih itu tidak hanya sekadar dibaca dan dipahami, tapi dilakukan. Hal tersebut yang dilakukan oleh Fahri. Gue sampai bertanya sendiri, Si Fahri ini nabi apa gimana? Angelic banget deh perilakunya. Nggak masuk akal dan nggak heran juga semua wanita pingin dinikahin dia...

Secara kualitas akting, nggak terlalu wah. Fedi Nuril tetap berakting gitu-gitu aja. Emosi yang ditampilkan Chelsea Islan pun belum mampu mendongkrak. Justru Tatjana Saphira yang menurut gue bagus banget aktingnya. Dengan pemain yang mumpuni dan punya nama seperti itu, gue bilang film ini biasa aja kalau ngomongin soal kualitas akting.
Romantisme berlebihan yang nggak masuk akal masih menjadi ciri khas film ini. Sayangnya pula, twist yang disediakan sudah bisa gue tebak di tengah cerita. Entah ini salah pembuat filmnya, atau gue yang kelewat sensitif, entahlah. Tokoh yang harusnya menjadi kunci, gagal membuat gue berkata, 'Ya ampunn! Ternyataa...'


Source : Google.com

Namun pesan moral yang disampaikan di film ini, mampu membuat gue menitikan air mata berkali-kali. Di tengah situasi politik negara yang sensitif banget sama isu agama dan ras, Ayat-Ayat Cinta 2 menunjukkan bahwa Islam adalah agama cinta. Ayat-Ayat Cinta 2 menggambarkan bahwa Islam adalah agama yang mengasihi sesama tanpa membedakan agama, ras, dan suku. Dapat dilihat dari bagaimana Fahri menolong Nenek Catarina yang seorang Yahudi, menolong Keira dan Jason yang seolah ketakutan dengan muslim, dan ketika Fahri membela Sabina yang dikata-katai oleh sekumpulan orang yang mengusir wanita itu karena dianggap pengemis.

Source : Google.com

From 5 stars, I give this movie 3 stars.

Kalau mau cari kualitas akting dan cerita yang out of expected, anda akan kecewa dengan film ini. Tapi kalau mau cari film super romantis dengan pemandangan indah dengan bertabur pesan moral, film ini worth it buat ditonton.

Happy watching...

"Yang pantas dicintai adalah cinta itu sendiri dan yang pantas dimusuhi adalah permusuhan itu sendiri"
 - Fahri Abdullah Sidiq (Ayat-Ayat Cinta 2)

December 25, 2017

Coco - Menyebrangi Dunia Kematian dan Mengejar Mimpi


It's a late post actually. But it better late than never...
Gue nggak pernah kecewa dengan semua karya yang berhasil dilahirkan oleh Pixar. Setelah Toy Story, Finding Nemo, Up, bahkan Inside Out, Pixar selalu berhasil menyajikan sebuah film yang karya warna dan sarat emosi.

Awal gue tertarik dengan Coco adalah karena trailer film ini membuat mata gue membelalak bahagia. So colorful! Walaupun, kok yang nongol adalah karakter berwajah tengkorak...?

Jadi Coco bercerita tentang seorang anak laki-laki bernama Miguel Riviera (Iya, nama karakter si anak laki-laki bukan Coco. Gue juga tadinya mikir kalau Si Miguel namanya Coco. Ternyata bukan. Coco itu nama neneknya, yang biasa Miguel panggil dengan sebutan Mama Coco. Ups! Spoiler alert...). Miguel yang jatuh hati pada musik dan bermimpi untuk menjadi seorang musisi, terpaksa harus memendam mimpinya. Mengapa? Sebab keluarganya turun temurun seolah anti pada musik. Usut punya usut, ternyata penyebabnya adalah karena nenek dari nenek buyut Miguel (mamanya nenek Coco) sakit hati pada suaminya yang pergi meninggalkan keluarga demi musik.

Awalnya Miguel berusaha menuruti. Tetapi passion dan cita-citanya semakin lama semakin menggebu. Karena suatu kesalahpahaman, Miguel mengira bahwa musisi idolanya Ernesto de la Cruz adalah kakek buyutnya yang meninggalkan keluarga. Singkat cerita, entah keajaiban dari mana, karena berhasil mencuri gitar dari makan milik Ernesto de la Cruz, Miguel berhasil menyeberang ke Dunia Kematian (Land of Death) saat seluruh keluarganya merayakan festival Dia de Los Muertos atau Hari Kematian.



Maka terdamparlah Miguel di dunia kematian tersebut. Untuk dapat keluar dari sana, Miguel harus memperoleh restu dari keluarganya. Miguel memang bertemu dengan keluarganya yang selama ini fotonya terpampang di ruangan doa khusus di rumahnya, tapi nenek buyutnya alias mama dari Nenek Coco enggan memberikan restu jika Miguel tetap bermusik. Tetapi Miguel kekeuh. Bersama dengan seorang laki-laki bernama Hector, Miguel menyusuri jejak Ernesto de la Cruz untuk memperoleh restu darinya. Karena sepengetahuan Miguel, idolanya itu adalah kakeknya.


Dalam petualangannya, Miguel akhirnya memahami apa artinya keluarga. Tidak hanya untuk Miguel, tetapi semua keluarganya memahami. Buat gue pribadi, film ini mengajarkan bahwa keluarga tidak dapat dipisahkan walau dengan kematian sekalipun. Kematian hanya memisahkan alam, namun cinta dalam sebuah keluarga hanya sejauh doa. Ini yang menarik buat gue. Apalagi gue baru aja ditinggal meninggal sama orang terdekat gue... (Maklumin yah, gue masih baper kalau bicara soal kematian)



Hal menarik lain dari film ini ya tentu saja tentang Dia de Los Muertos (Day of The Dead) atau perayaan hari kematian yang biasa dilakukan oleh orang Meksiko. Gue sampe nyari infonya di Google (Hail Google...!) waktu nonton film ini. Soalnya gue juga baru tahu kalau di Meksiko ada perayaan seperti ini.
Mengutip dari situs Beritaagar.id (https://beritagar.id/artikel/piknik/dia-de-los-muertos-perayaan-hari-kematian-di-meksiko), Hari Kematian ini diperingati setiap tanggal 1 dan 2 November, yang juga menjadi hari libur nasional di Meksiko sana. Pada hari tersebut, dipercaya orang-orang yang telah meninggal akan datang kembali mengunjungi orang-orang yang mereka cintai. Pada saat hari kematian ini, mereka tidak boleh lagi memperingatinya dengan kesedihan, melainkan harus dengan kebahagiaan. Selama perayaan, keluarga membawa Ofrendas atau persembahan untuk almarhum. Bisa dilihat di dalam film Coco, keluarga Miguel membawa banyak persembahan seperti bunga, lilin, bahkan makanan. Tidak hanya di makam, bahkan setiap keluarga memiliki ruangan yang berisi foto anggota keluarga yang sudah meninggal, dan menghiasinya dengan lilin, makanan kesukaan anggota keluarga yang sudah meninggal itu semasa hidup, dan bunga Marigold. 
Mengapa bunga Marigold? Menurut mereka, bunga itu adalah bunga kematian. Mungkin kalau di Indonesia itu sama stratanya dengan bunga melati, bunga sedap malam, atau... bunga kamboja?

Namun lepas dari itu semua, film ini juga berhasil mengenalkan kita tentang budaya. Buat gue pribadi, gue merasa mendapat pengetahuan baru tentang Dia de Los Muertos ini. Karena dalam budaya gue sebagai orang Tionghoa, kami pun punya perayaan yang sejenis itu, namanya Cheng Beng. Tapi ini bukan tempat gue jelasin Cheng Beng itu apaan... Hehehe...

Nah! 
Dari info gue di atas, (yay! gue berhasil nggak spoiler banyak-banyak!) gue merekomendasikan kalian untuk nonton film. Film ini bagus buat anak-anak usia 7 tahun ke atas atau remaja sih menurut gue. Karena kalau untuk balita, yang menarik cuma penampilan warnanya saja. Apalagi efek terang kelopak Marigold di film ini sungguh menyenangkan. Soalnya, gue kemarin nonton ini sama murid-murid gue, dan mereka sesenggukan. Mantap! 
Buruan nonton, mumpung masih ada di beberapa bioskop...

From 5 stars, I give 4 stars.

Happy watching...


Remember me, though I have to say goodbye... Remember me, don't let it make you cry. For even if I'm far away, I hold you in my heart. I sing a secret song to you, each night we are apart. Remember me, though I have to travel far.. Remember me, each time you hear a sad guitar. Know that I'm with you, the only way that I can be. Until you're in my arms again, remember me...
- Hector

December 19, 2017

Jessela - Part 1 Aku Tanpa Kamu

1
Aku Tanpa Kamu

Bertanyalah padaku, bagaimana rasanya dunia runtuh? Jawabnya adalah ketika kamu melihat dengan dua pasang matamu sendiri, saat tak ada lagi denyut jantung berdetak di dada orang yang kamu cintai. Duniaku runtuh saat aku menyadari tak akan pernah ada lagi sepasang mata cokelat miliknya yang memandangku penuh kata. Duniaku runtuh saat Tyaga pergi untuk selamanya. Tak pernah kembali lagi.
Tidak banyak yang tahu, malam-malam yang kuhabiskan untuk menangis bersama sesak di dada yang menggebu. Sendirian aku meraung di dalam kamarku, berusaha mengenyahkan segala ingatanku di pagi buta itu. Bunyi suara mesin di ruang ICU, aroma steril ruangan yang bercampur dengan aroma anyir darah yang terus berusaha kuseka dari ujung bibir Tyaga, dan riuh suara perawat yang berusaha menekan dada Tyaga dalam usaha mengembalikan denyut jantungnya, semuanya seakan berusaha membunuhku dari dalam. Belum lagi jerit pilu tangis keluarga Tyaga yang mengiris hati, tipis tapi perih. Hilang semua kekuatanku, luruh dalam kesedihan yang bergulung di dalam dada ini.
Tega kamu, Ga..
Biasanya kamu selalu ajak aku pergi, ke manapun itu. Kenapa sekarang kamu pergi sendiri? Kenapa kamu nggak ajak aku? Kamu pergi dan nggak akan pulang lagi. Kenapa kamu begitu?
Pertanyaan kenapa, kenapa, dan kenapa yang tak pernah benar terlontar keluar dari bibirku. Hanya terus bergaung di dalam pikiranku sambil terus memandang Tyaga yang sudah membujur kaku, tidur di peti peristirahatan terakhirnya. Terus kutanyakan, bahkan sampai tubuh dingin itu terbaring nyaman di bawah tumpukan tanah.
Kenapa, Ga?
Begitu terus sampai berminggu-minggu. Begitu terus sampai aku lelah sendiri dan hanya mampu menangis karena tak ada jawaban pasti. Hanya sedikit terbersit di hati, entah suara Tuhan, bahwa Tyaga pergi itu adalah yang terbaik. Dia pergi bukan sengaja mau membuatku sakit hati. Memang sudah waktunya. Karena pada akhirnya, Tuhan adalah Tuhan. Tak ada satupun yang mampu mengubah kehendakNya.
“Ini yang terbaik, Je…” kata Bella, suatu malam saat dia menemukanku menangis tersedu di pinggir tempat tidurku, memeluk sehelai kemeja milik Tyaga yang masih tersisa aroma parfum yang biasa ia pakai.
“Gue tahu. Tapi sakitnya belum bisa ilang, Be…”
Aku menepuk dadaku, berusaha menghilangkan rasa sesak yang seolah meradang itu. Namun sia-sia, semakin keras aku menepuk dadaku, toh rasa sakit itu tetap bersarang di situ. Kehilangan yang sulit kuatasi sendiri, namun sesungguhnya tak ingin aku bagi. Aku tahu, tak satupun akan memahami. Termasuk keluarga Tyaga. Mereka pasti lebih sedih dan memiliki cara berduka mereka sendiri. Aku pun berduka dengan caraku sendiri.
“Ikhlas, Je… ikhlas…”
Dan malam itu kuhabiskan untuk menangis dan berteriak dalam pelukan Bella. Sementara Bella hanya diam, membiarkanku meronta dan bergulat dengan piluku. Ia tahu, hanya aku yang mampu mengatasi semua itu. Bella tahu sesungguhnya aku paham, bahwa pada akhirnya semua yang lahir ke dunia ini akan kembali lagi pada Penciptanya. Hanya tak ada satupun yang tahu kapan waktunya. Hanya butuh waktu buat seorang Jessela untuk ikhlas sepenuh hati.
Aku menghabiskan kurang lebih dua bulan terakhirku untuk mengurus Tyaga yang tiba-tiba kembali terserang penyakit auto-imun. Bersama dengannya lebih dari 12 jam dalam sehari. Mengurus segala hal tentang dia. Mencukur kumis dan jenggotnya setiap 3 hari sekali. Merapikan isi tas dan dompetnya. Menyiapkan makan pagi, makan siang, dan makan malamnya. Mengingatkan dia minum obat. Berdoa bersamanya, pagi dan malam. Menyentuh bagian tubuhnya yang sakit, karena kata Tyaga, itu akan membuatnya nyaman.
“Je, aku lapar…”
Setiap ia berkata begitu, otomatis aku langsung mengambilkan makanan untuknya. Tak jarang menyuapinya, sementara yang disuapi asik main game di ponsel. Mungkin bagi orang lain itu terlalu berlebihan, namun buatku, aku menikmati mengurusnya seperti itu.
“Je, kok ulu hatiku sakit ya…”
Awal mula dari semuanya. Kalimat yang aku harap tak pernah terucap darinya. Titik menuju saat aku harus kehilangan dia. Sampai ketika Tyaga, dengan alat bantu nafas di mulutnya dan hanya dengan jari-jarinya yang lemah berusaha untuk menulis,
“Je… jangan ke mana-mana”
Tulisan cakar ayam terakhirnya. Permintaannya yang terakhir yang sanggup aku kabulkan, karena permintaannya untuk melepas alat bantu nafas tak bisa aku penuhi. Sampai ketika dokter memanggil kami, menyatakan bahwa Tyaga tak lagi merespon panggilan karena kemungkinan terjadi pendarahan di otaknya, aku tak lagi meninggalkan laki-lakiku sendirian. Di satu sisi aku berharap dia bangun, tetapi di sisi lain aku seolah menyadari bahwa ia akan pergi dan aku tak mau membiarkan dia pergi tanpa kuantar.
Sampai detik ini, semua memori ini masih terus membayangi. Terlalu sakit untuk diingat. Namun rindu yang tak terbalas memancing kepingan-kepingan ingatan tentang kepergian Tyaga untuk muncul. Bagaimana caranya merindu tanpa harus terasa pilu?
“Sudah dua bulan, Je… “ Bella berkata kepadaku, “Gue tahu, biarpun kelihatannya lo ketawa- ketiwi, hati lo masih luka kan?”
Aku pura-pura tidak mendengar apa yang Bella katakan. Sambil meminum susu langsung dari kotaknya, aku duduk bersila sambil menonton Crayon Shinchan dari Youtube di layar ponselku. Bella tahu, tadi sore sepulang kerja aku mendengar sirine ambulans di parkiran apartemen kami. Suara sirine ambulans masih menjadi momok buatku, seolah mengingatkanku pada saat jenazah Tyaga di bawa ke kampung halamannya di Lampung. Bella tahu, suara itu masih menjadi trauma buatku. Hanya saja aku sok tegar seolah kuat menghadapinya.
I know, Be… But it still hurt. Gue juga pingin bahagia, Be…” sahutku.
You gonna be, Honey… You deserve to be happy, it’s just a matter of time. Asal lo nya buka hati aja, Je… Lo nggak bisa begini terus juga, kan?”
“Kadang gue ngerasa mampu, Be… Tapi kadang gue ngerasa lelah jadi kuat begini. Sehebat apa gue, sampai Tuhan percayakan hal seperti ini terjadi dalam hidup gue? Tuhan nggak akan membiarkan masalah terjadi pada kita, kalau Dia tahu kita nggak mampu ngehadapinnya. Jadi kalau ini terjadi sama gue, artinya Tuhan percaya sama gue. Memangnya sekuat apa gue?”
“Kalau begitu, sisanya lo percaya aja sama Tuhan. He’s the best master planner, Je… His plan is never failed.” Kata Bella.
“Kenapa harus gue,Be?”
Bella menggeleng. “Hanya Tuhan yang bisa menjawab pertanyaan lo.”
Everybody seems so happy, why me not?
Bella meraih belakang kepalaku, menarikku ke dalam pelukannya. Pelukan sahabat yang terasa hangat seperti pelukan seorang ibu. Bella yang tidak banyak bicara, tapi tahu apa yang kubutuhkan. Sebuah pelukan tanpa kalimat-kalimat panjang yang mendikte. Sebab tidak semua mampu paham rasanya jadi seorang Jessela yang kehilangan Tyaga. Tidak semua mau mencoba memahami seorang Jessela yang menghabiskan sebagian besar malamnya dengan meminum berkotak-kotak susu dan makan berbatang-batang cokelat untuk menenangkan diri sehabis menangis sendu.
You gonna find yours again, soon. Just be patient. God’s time is always right.
Ingatanku kembali melayang pada sehelai potret memori dua pasang kaki milik kami yang menyusuri jalan berdua. Aku memandangi kakiku dan kakinya sambil berkhayal bahwa kami akan bersama menyusuri waktu kehidupan kami berdua, melawan dunia, menikmati drama hidup, semuanya sampai memutih rambut kami.
Kini, hanya ada sepasang kaki milikku yang tertinggal di bumi ini. Tinggal aku yang kembali bertanding melawan dunia ini. Menyusuri sendiri jalan setapak kehidupan yang kupilih, tanpa Tyaga. Pertandingannya sudah selesai. Aku yang belum selesai. Aku harus berani melangkahkan kaki ini, selangkah meninggalkan cerita Tyaga di belakangku. Cerita kami sudah selesai, aku harus berani menghadapi babak lain cerita hidupku. Tanpa Tyaga.
I deserve my happiness kan, Ga?” tanyaku pada diri sendiri, namun seperti seolah bertanya pada Tyaga. Dan hati kecilku meyakini, Tyaga pasti tak mau aku terus-terusan terpuruk. Karena mendadak sepotong ingatan tentang nasihat Tyaga berkelebat di pikiranku.
“Tetap jadi kuat, Jessela. Tetap jadi kamu yang kuat dan teguh. Konsisten pada pilihanmu untuk jadi diri kamu sendiri.”
Baik, Tyaga…
Kini aku jalan lagi. Tanpa kamu. Soon, we gonna meet again ini heaven. Soon after I finish my competition. Satu langkah kakiku meninggalkanmu. Kamu mungkin  perlahan akan dilupakan dunia. Namun kamu tetap kamu buatku. Walau mungkin posisimu akan digantikan seseorang suatu saat nanti, Tyaga tetaplah Tyaga, satu-satunya lelaki yang pernah Jessela cintai dengan 100% hatinya.
Aku melangkah tanpamu, Ga… Dan aku janji, akan berusaha kuat.
“Je, besok kita red flight loh… Semua barang lo udah siap?”

Aku mengangguk, “Yap…”