August 7, 2016

Suicide Squad - It's Good to be Bad


This year is really a good year for the movie lover like me! Both Hollywood and the local.

Gue sebenarnya mau nge-review banyak film di blog ini. Yah review abal-abal lah, bukan yang expert banget. But, I have a bad time management in handling the blog, jadinya beberapa film yang gue rencanakan untuk di-review di sini jadi terbengkalai. Pekerjaan yang tambah banyak, proses pemulihan sakit, jadi alasan gue kenapa gue nggak bisa nge-blog sering-sering (Terus aja bikin excuse, Je!)

Well, but I don't want to miss reviewing this movie.

Mungkin setiap orang punya something yang bisa bikin mereka bisa turn on banget. Genre musik, genre film, makanan tertentu, named it! Dalam urusan ini, gue punya salah satu hal yang bisa bikin gue turn on banget. This kind of fictional superheroes and anti-heroes.

Kalau untuk superheroes, gue cinta mati dengan produk Marvel lah. Dari jaman gue cuma tahu X-Men sampai akhirnya ngerembet ke semua jenis pahlawan yang sudah diciptakan oleh Marvel. Dari jaman baca komiknya via online, sampai akhirnya satu persatu difilmkan.

We knows that Marvel and DC mungkin adalah 2 pencipta karakter superheroes dan anti heroes yang paling populer di Amerika sana. Untuk superheroes nya, gue nggak terlalu suka dengan DC. They are too dark, too melancholy, my opinion yah... Gue nggak begitu suka dengan Batman, kecuali his Bat Mobile and all the gadgets he has. Gue nggak suka Robin, nggak suka Catwoman, nggak suka Superman (karena pakaiannya yang menurut gue terlalu ketat dan nggak modis itu, dan nampak nggak nyaman di bagian selangkangannya), nggak suka Wonder Woman (I'm watching it, just because Gal Gadot play the role and Chris Pine will be appear in the movie), nggak begitu suka dengan Green Lantern (except the fact that Ryan Renolds play the role for the movie and it made him met his now wife, Blake Lively), dan nggak begitu suka dengan The Flash (except the fact that Ezra Miller play the role so good). See? Alasan gue menonton produk DC Comic, karena aktor dan aktrisnya, bukan karena gue sungguh-sungguh suka.

Beda dengan Marvel, I love the superheroes becaus they are more colorful. Lebih unik, lebih aneh-aneh, dan lebih macam-macam jenisnya. Semakin aneh, semakin gue suka (Hmm, kok malah jadi gue yang terdengar aneh ya? But, it's fine!).

Tapi di posting kali ini, gue nggak akan bahas banyak-banyak tentang Marvel, karena gue akan bicara tentang Suicide Squad.

Suicide Squad is a fictional government agency created by DC Comic. Di komiknya, Suicide Squad juga dikenal dengan nama Task Force X. Dalam versi filmnya di tahun 2016 ini, diceritakan kalau Amanda Waller (Viola Davis) memiliki rencana untuk membentuk sebuah, let's say pasukan, yang terdiri dari para 'bad guys' untuk melakukan 'something good'. Didampingi oleh Col.Rick Flag (Joel Kinnaman) dan Katana (Karen Fukuhara), mereka mengumpulkan para penjahat kelas tinggi untuk diajak bergabung dengan mereka. Singkat cerita, Deadshot (Will Smith), Harley Quinn (Robbie Margot), El Diablo (Jay Hernandez), Killer Crocs (Agbaje), Captain Boomerang (Jai Courtney), dan Slipknot (Adam Beach) diajak untuk bergabung. How to keep these bad guys want to do what Waller want them to do? Waller menanamkan sejenis bom di leher mereka. Jadi kalau mereka macam-macam, they die. Slipknot yang mencoba main-main, akhirnya mati sebelum yang seru-seru terjadi. Sayangnya Waller tidak sepenuhnya jenius. Ia salah perkiraan dan perhitungan, mengira bahwa Enchantress aka June Moone (Cara Delavigne) bisa dikendalikan olehnya. Nyatanya, Enchantress malah berbuat ulah di film ini, yang sebenarnya juga disebabkan karena kelalaian Flag.

I have a big expectation in this movie. Mendapati kenyataan kalau Batman Vs Superman terlalu membosankan untuk ditonton, gue berharap Suicide Squad tidak akan membuat efek yang sama. I said to my friend, that I bet this movie is better than BvS. Biarpun ternyata ekspektasi gue nggak benar-benar amat, tetapi gue juga nggak salah-salah amat. Suicide Squad give me a better reaction than Batman vs Superman.

Jujur yang bikin gue tertarik awalnya adalah Harley Quinn, The Joker (Jared Letto) dan Enchantress. Kenapa mereka? Karena Harley Quinn adalah villain perempuan paling favorit buat gue di DC, lalu Poison Ivy. Lalu Joker. Gue penasaran aja, gimana Letto mainin karakter ini. Gue suka dengan dandanannya yang lebih kelihatan psycho daripada pas Alm.Heath Ledger yang mainin dulu. Gue juga lebih suka Joker versi ini, karena cara bicara, ekspresi muka, gestur, lebih menyebalkan dan lebih terlihat jahat. Ledger berhasil membuat Joker terlihat psycho dari ekspresi dan perkataan, tapi gue bosen dengan penampilan dia yang pakai baju itu-itu aja. Sekali lagi, ini opini gue. Gue senang kalau visual gue dihibur, makanya gue lebih suka Joker versi Jared Letto. Lalu kenapa Enchantress? Karena yang main Cara Delavigne, dan Cara ini cantik banget. Udah.


Film ini sayangnya nggak terlalu memenuhi ekpektasi gue, karena di tengah-tengah gue merasa ada bagian yang nggak terlalu penting, tapi dipanjang-panjangin. Setiap karakter punya ceritanya sendiri. Kisah Deadshot dan cintanya untuk putri tunggalnya, Zoe. Kisah Harley Quinn aka Dr. Harleen Frances Quinzel, psychiatrist di Arkhan Asylum yang jatuh hati pada Joker lalu rela mengorbankan apapun buat si penjahat badut itu. Kisah El Diablo dan keinginannya untuk jadi manusia biasa karena merasa bersalah telah membunuh istri dan anak-anaknya. Bahkan ada kisah Katana aka Tatsu Yamashiro yang menjadi seperti itu setelah kematian suaminya. Belum lagi kisah cinta Rick Flag dan June Moone. Rasa-rasanya penulis cerita ini merangkumnya kurang baik dalam durasi yang ada. Jadinya terkesan banyak yang bisa disajikan, tetapi dilewatkan begitu saja. Tetapi paling tidak, film ini tidak hanya menampilkan adegan action semata, tetapi juga menyajikan beberapa kisah-kisah manis yang membuat Suicide Squad tidak mentah-mentah cuma tembak-tembakan dan pukul-pukulan.

Suicide Squad berhasil menambah daftar celebritu crush gue, Margot Robbie. She present Harley Quinn really good. Gue suka banget dengan look dia, termasuk cara bicaranya yang menurut gue yah... Harley Quinn. Dan Jared Letto... Gue pingin lihat dia lagi jadi Joker. Wish he gonna appear in Justice League next year.

Ini aja review gue. Gue nggak mau spoiler banyak-banyak lagi, kecuali ini. Jangan buru-buru keluar bioskop after credit. Ada bocoran soal Justice League.

Well, DC... Please try to steal my heart. Karena setelah ini Doctor Strange juga akan tayang. Lalu tahun 2017 juga bakal ada Thor: Ragnarok, Guardian of The Galaxy 2, dan Black Panthers. Apakah Wonder Woman dan Justice League bisa mulai merebut perhatian gue ke DC? Kita lihat saja. Yang jelas, tahun ini sampai tahun 2017, dompet gue bakal sering lost karena gue rajin ke bioskop.

From 5 stars, I give 3.5 to Suicide Squad. Please say thanks to Harley Quinn, Enchantress and Joker.

Ha... Ha... Ha... Haa... *read in Joker's voice*

July 14, 2016

Quarter Life Crisis


Sebelumnya gue nggak pernah berpikir kalau Quarter Life Crisis bakal terjadi dalam hidup gue. I even proudly declared to myself that I am so ready in facing my 25, so bye bye that so called quarter life crisis. Dan ternyata, bah! Memang yang namanya sombong itu haram.

It happened about two months ago, when I was starting to ask myself, what I wanna do next? I was a girl with bunch of dreams. I had a lot of bucket list (which I made every year end, and finally ended just written in my notebook, yang gue curiga kalau dikumpulin bisa jadi buku malahan). Then, I began to have no will in making dreams or even wrote a bucket list. Gue merasa hidup gue lumayan cukup. Lumayan cukup loh ya, masih belum cukup berarti.

Lalu sekitar sebulan yang lalu, badan gue drop. Sudah hampir kira-kira 8 tahunan kali ya, gue jarang jatuh sakit separah ini. I always feel so strong, padahal aslinya cemen banget ini antibodi. Gue aja yang terlalu mengabaikan badan gue. Terlalu sombong untuk mengakui bahwa gue ini nggak sekuat itu. Sekali lagi, memang yang namanya sombong itu haram.

Sakitnya gue dimulai dari diare berkepanjangan selama kurang lebih 3 minggu, yang bikin gue paranoid mau makan apapun. I check to the doctor and the doctor said, gue harus menghindari yang pedas-pedas, yang asam-asam, yang terlalu berbumbu dan bersantan, kacang-kacangan, dan jenis saus-sausan. Tapi ujung-ujungnya, gue berakhir paranoid makan apapun.

Sekarang, coba pikir! Kalau sehari lo ke kamar mandi bisa sampai 10 kali lebih, kalau kloset bisa ngomong, gue rasa itu kloset udah ngeludahin gue kali, sangking muaknya gue setor melulu.

Puncak kekesalan gue pada diri sendiri adalah ketika libur Lebaran kemarin, gue berencana menghabiskan waktu di Semarang dengan jalan-jalan, nonton bioskop sepuasnya, kuliner sana sini, dan... GAGAL! Gue hanya berakhir di rumah saja, minum obat, tidur-tiduran, nonton TV, main Snapchat, buka Twitter dan Facebook, selfie nggak jelas. Malamnya gue nggak bisa tidur karena nafas pendek-pendek dan batuk pilek berkepanjangan. Stressful!

Have you ever feel when you are facing a bunch of trouble, and suddenly you asking to yourself about purpose of your life? I ever thinking about death.

Nggak sampai situ, my parents even talking about marriage. Menikah dari mana, kalau pasangan hidup saja nggak ada. Yang sempat hadir pun tidak jelas maunya apa, berakhir di tengah jalan karena alasan ini dan itu. Males banget. Karena yang mau berusaha dan berjuang akan lebih menang daripada yang maunya lancar-lancar aja. Jalan tol aja bisa macet,Pak! (Maaf, curcol! Emosi...) Jadi kalau sudah ditanya-tanya soal "kapan cici bawa pacar? Kok mama pingin punya cucu ya? Ada yang lagi ada di hati kamu nggak,Ci?" Bawaannya gue pingin menghilang saja macam Jinny Oh Jinny.

Lima tahun yang lalu gue masih santai-santai aja. Masih merasa muda, masih merasa ini waktunya main-main, dan merasa jodoh itu urusan Tuhan. Jadi gue doanya masih nggak sungguh-sungguh. Lah sekarang? Lama-lama gue puasa deh demi jodoh. Gue mau nyantai, tapi kok yang nanya ngegas pol. Gue manusia biasa, dan gue stress juga.

Until one of my friend gave me an advice.

"You should stop thinking too much" then she gave me a bunch of advices. Bukan gue nggak dengerin lanjutan nasihat dia, cuma kalimat "You should stop thinking too much" sangat mengena banget buat gue. Gue memang berpikir terlalu banyak, dan gue lelah sendiri pada akhirnya. Otak gue ada batasnya. Gue harus bisa lebih santai. Gue ini orang beriman dan beragama, harusnya gue belajar percaya sama Yang Maha Kuasa. Ada yang lebih besar daripada manusia, dan dia yang menentukan segalanya. Semua tepat pada waktunya.

Masalah kesembuhan gue, semua balik ke diri gue sendiri. Gue sakit pasti karena gue kurang perhatian sama badan gue sendiri. Gue nggak sayang sama diri gue sendiri. I should love myself. Gue yang harus semangat untuk sembuh. Pasti sembuh. Intinya gue yang harus semangat.

Gue nggak tahu Quarter Life Crisis gue sudah berakhir apa belum, tapi yang jelas gue masih bisa bersyukur karena gue punya keluarga yang masih ada buat gue, seorang sahabat yang masih mau ada buat gue saat gue butuhkan, dan yang terutama, gue percaya Tuhan sayang sama gue karena gue masih Dia karuniakan mereka-mereka ini.

I wish it will pass soon... Sambil menunggu, gue berusaha saja untuk senang. Melupakan yang sedih-sedih dan pahit-pahit. Have fun go mad!

January 17, 2016

Menertawakan Hidup Lewat Ngenest Movie


Alasan pertama nonton film ini adalah Ernest Prakasa. Ernest adalah salah satu stand up comedian favorit saya. Kenapa? Karena dia selalu membawakan materi stand up yang erat juga hubungannya dengan saya. Yak, diskriminasi ras. Mungkin diskriminasi yang saya rasakan tidak semenyedihkan yang dialami oleh seorang Ernest Prakasa. Tetapi Ernest mengajarkan saya untuk menertawakan masalah hidup sebagai keturunan etnis Tionghoa.
Dengan membawa tagline Kadang Hidup Perlu Ditertawakan, film ini disadur dari tiga buah buku karya Ernest sendiri yang berjudul sama. Menceritakan tentang kehidupan seorang Ernest Prakasa, yang sedari lahir sudah bermata minimalis (Terima kasih Tuhan, walau saya keturunan Tionghoa, mata saya masih lumayan belo) dan kebetulan lahir di masa orde baru. Bagi Ernest, diskriminasi sudah menjadi santapan sehari-hari dalam kehidupannya. Panggilan, "Hey Cina!" dengan segala bully-bully dari teman sekolah dan lingkungannya menjadi suatu kenangan buruk yang tidak bisa ia abaikan begitu saja.
Ernest muda (Kevin Anggara) berusaha untuk berbaur dengan teman-temannya. Berbagai cara ia lakukan, walaupun sahabatnya yang bernama Patrick (mudanya diperankan oleh Brandon Salim) berusaha untuk mengingatkan, percuma saja berteman dengan non-Tionghoa, toh tidak membuat Ernest lepas dari bully-bully temannya. Sampai pada sebuah kesimpulan sederhana dari Ernest, jika sudah dewasa kelak ia harus menikah dengan seorang perempuan pribumi. Pada bagian ini saya sangat memahami semburan makanan yang keluar dari mulut papa Ernest (Ferry Salim). Kalau adik laki-laki saya mengatakan hal serupa saat makan malam, papa saya juga mungkin akan melakukan hal yang sama. LOL
Saat kuliah di Bandung, Ernest berkenalan dengan seorang perempuan bernama Meira (Lala Karmela) yang ditemuinya di tempat les bahasa Mandarin. Ernest yang tadinya les mandarin dengan malas-malasan, seperti punya semangat untuk les. Yah karena Meira. Singkatnya, mereka akhirnya dekat, berpacaran setelah Ernest melalui ujian-ujian dari papa Meira (Budi Dalton), lalu menikah. Keduanya menikah dengan adat Tionghoa untuk menyenangkan hati orang tua Ernest. Pernikahan dengan nuansa merah-merah plus Om Hengky yang menyanyikan lagu Yue Liang Tai Piao Wo De Xing. Sangat Cina. Demi apa, saya tertawa melihatnya. Sudah hampir dua tahun saya tidak dengar lagu itu, semenjak tinggal jauh dari orang tua karena kerja. Hahaha...
Lantas masalah selesai? Ernest sudah berhasil menikah dengan perempuan pribumi seperti yang ia inginkan. Ternyata tidak. Menikah artinya siap menjadi orang tua. Bayangan kalau nanti anaknya akan berwajah oriental sama seperti dirinya, lalu akan dibully teman-temannya, membuat Ernest merasa tidak siap untuk punya anak. Sementara Meira yang awalnya oke-oke saja, lama-lama merasa, there's something wrong with their marriage. Kapan Ernest siap? Mengapa seolah Ernest menghindar setiap ditanya soal anak? Sampai karena sebuah cekcok yang lumayan dramatis, Ernest memutuskan untuk, Oke kita punya anak.
Selama kehamilan Meira, Ernest masih dirundung kekhawatiran yang bertubi-tubi. Sampai terbawa mimpi segala. Hingga saat Meira mau melahirkan dan Ernest entah di mana, Patrick (Morgan Oey) menemukan Ernest berusaha menenangkan diri di tempat mereka biasa sembunyi kalau dibully. Ernest yang sadar, langsung berlari menuju Rumah Sakit menemui Meira yang mau melahirkan.
Berbeda dengan film komedi ala Raditya Dika yang mengusung tema percintaan kaum young adult, film pertama yang disutradarai sendiri oleh Ernest Prakasa ini mengusung isu sosial. Ernest membalut traumatis dia akan diskriminasi ras yang dialaminya dengan baluran komedi. Membuat film ini dibilang ringan, yaaahh... nggak ringan-ringan amat. Tetapi dibilang berat, juga nggak berat. Semua yang ditampilkan di sana ada di sekeliling kita. Hanya entah, penonton sadar atau tidak kalau semua yang di film Ngenest ada di sekeliling mereka.
Film ini punya kesan khusus buat saya. Saya tertawa pahit di beberapa bagian, tetapi saya juga ikut menitikan air mata di beberapa hal. Salah satunya ketakutan Ernest kalau anaknya nanti jadi bahan bully-an. Ernest menuangkan perasaan khawatir seorang calon ayah lewat ekspresinya, sampai membuat saya ikut sedih. (yah, mungkin memang saya saja yang baperan...)
Ernest dan pemain lainnya membawakan karakter mereka dengan baik. Ernest sendiri tidak usah ditanya. Memainkan karakternya sendiri tentu haruslah excellent. Lala Karmela yang justru mendapatkan acungan jempol karena berhasil membawakan karakter istri Ernest, Meira, dengan sangat baik. Chemistry nya bagus sekali, sampai saya kadang-kadang bertanya, "Itu istrinya Ernest apa nggak cemburu?". Morgan Oey (Uuuhh, saya suka banget sama yang ini sejak dia di Smash)  juga berhasil membawakan karakter Patrick dengan bagus. Filosofi tokai yang tak terlupakan. Ewwh tapi yah, boleh lah dijadikan filosofi. Chemistry dua sahabat antara Ernest dan Morgan terlihat real. Obrolan-obrolan khas orang Tionghoa yang suka menggunakan kata 'lu orang' dan 'dia orang' membuat keduanya terlihat, yahhh... cina banget. Saya jadi kangen teman-teman SD saya di komplek dulu. Surprisingly, Morgan yang biasanya nampak cool ternyata lumayan bisa melucu.
Kehadiran Arie Kriting, Fico, Ge Pamungkas, Awwe, dan Adjis biarpun cuma beberapa saat di beberapa scene, tetap saja bikin ngakak. Tetapi favorit saya adalah Mukhadly Acho, si pemeran dokter kandungan. Dia diam saja, saya tertawa. Pas bersuara, saya lebih kencang tertawanya. Belum lagi istri Ernest dan kedua anaknya, Sky dan Snow juga muncul di film ini dalam scene imlek. Sky bagus sekali memainkan cameo sebagai keponakan Ernest. Saya tertawa melihat dia berkata, "Ih, kiu kiue Ernest pelit, masak angpaonya cuma ceban?" LOL again.
Overall, film ini memang tidak sempurna, tetapi yang jelas menghibur sekali. Saya senang  akhirnya ada juga film Indonesia yang menceritakan isi hati warga negara Indonesia keturunan Tionghoa. Ernest is a good actor. Saya harap Ernest Prakasa terus berkarya, tetap menjadi stand up comedian dengan bit-bit yang lebih cerdas dan menghibur, dan selalu rendah hati.
From 5 stars, I give 3.5 stars to this movie.
Filmnya masih ada kok di beberapa bioskop. Review saya sih jauhhhh sekali dari sempurna, makanya nonton langsung filmnya di bioskop.
Hidup Cina!

January 10, 2016

Sunshine Becomes You


walaupun tidak ada hal lain di dunia ini yang bisa kau percayai, percayalah bahwa aku mencintaimu. sepenuh hatiku. - Mia Clark
 Saya menonton film ini beberapa hari setelah tanggal release-nya di bioskop, tetapi baru sempat mem-posting review-nya saat ini.
Alasan saya semangat  menonton film ini adalah :
  1. Saya sudah membaca novelnya dan suka pada ceritanya. Ilana Tan never failed.
  2. Ada Herjunot Ali dan Boy Williams untuk dipandang. (I'm a normal girl who loves hot guys)
  3. Penasaran bagaimana seorang Nabilah JKT48 memainkan peran yang menurut saya terlalu dewasa untuk dia perankan.
Sunshine Becomes You digarap oleh rumah produksi Hitmaker Studios, bercerita tentang kisah cinta antara Mia Clark dan Alex Hirano.
Diceritakan bahwa Mia Clark (Nabilah JKT48) adalah seorang penari balet kontemporer yang memberikan hidupnya untuk menari. Sementara Alex Hirano (Herjunot Ali) adalah seorang pria berdarah campuran Jepang Indonesia yang merupakan seorang pianis berbakat yang sangat terkenal. Adik Alex, yaitu Ray Hirano (Boy William) adalah seorang B-Boy yang sama-sama bekerja di sekolah tari, tempat Mia juga bekerja. Ray menyukai Mia, sementara Mia sepertinya tahu tapi hanya menganggap Ray sebagai teman.
Dalam suatu kesempatan, Mia tidak sengaja melakukan suatu hal bodoh yang tanpa sengaja malah melukai tangan Alex. Alex yang memiliki tempramen dingin, diambah lagi dengan hari konsernya yang semakin dekat, menjadi sangat marah dan terganggu karena tangannya patah. Otomatis, Alex harus membatalkan konsernya.
Diserang rasa bersalah, Mia menawarkan diri untuk menjadi asisten Alex sampai laki-laki itu sembuh. Awalnya ditolak dengan judes, akhirnya Alex bersedia menerima pertolongan Mia.
Singkat cerita, karena sering menghabiskan waktu bersama-sama, Alex dan Mia semakin mengenal satu sama lain dan jatuh cinta. (Yeah, it's cliche. What do you expect from romantic movie?)
Tetapi sayangnya, penyakit jantung Mia memisahkan mereka berdua di akhir cerita.
Yah, itu sekilas tentang ceritanya. Kalau saya terangkan lebih detail, saya khawatir sampai nanti malam juga tidak selesai.
Novelnya membuat saya lumayan baper sampai endingSo, saya berharap film-nya juga akan bikin saya baper. Tetapi sayang, ternyata film-nya gagal bikin saya baper. Banyak hal yang mengganggu.
Plot nya hanya fokus pada romantisme. Junot, Boy dan Nabilah tidak terlalu menunjukan karakterisasi peran yang mereka mainkan. Dikatakan mereka berlatih 3 bulan untuk jadi pianis, penari balet dan B-Boy. Herjunot Ali sebagai Alex Hirano. Ketrampilannya bermain piano kurang ditonjolkan. Padahal Alex Hirano adalah seorang pianis terkenal. Nabilah sebagai Mia Clark. So far pun saya tidak merasakan jiwa dari tarian yang ditarikannya, agak kontradiktif dengan apa yang dikatakan karakternya, Menari adalah hidup saya.  Boy William sebagai Ray Hirano. Penampilannya menjadi B-Boy bahkan tidak sampai sekian menit. Saya malah lebih terpukau pada penampilannya menari bersama Nabilah di scene saat pesta Dee Black. Itupun tarian yang tidak menonjolkan kemampuan B-Boy. Buat apa dong latihan 3 bulan?
But, what can I expect from actor and actress who only trained in 3 months? 
Make-up Nabilah yang terlalu menor. Seriously, menor. Bahkan saya bisa melihat gumpalan lipstik di permukaan bibirnya. Nabilah masih sangat muda dan cantik dengan wajahnya yang di make-up tipis saat bersama kawan-kawan JKT48-nya. Tetapi di sini, oh... nggak banget.
Nabilah terlalu, what should I say yah? "berisi" untuk memerankan seorang penari balet. Yah, walaupun balet kontemporer. Tetapi penari balet pada umumnya bertubuh kecil dan cenderung kurang berisi.
Di antara semua film yang diperankan Herjunot Ali, mulai dari 5cm, Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, sampai yang sebelum ini, Supernova, karakternya di film ini adalah yang paling amat biasa. Walau memang, Junot selalu berhasil membuat saya teriris dengan adegan menangisnya.
Kesimpulan yang terlalu basi untuk hubungan Ray dan Lucie (Annabella Jusuf). Di awal cerita, Ray diceritakan jatuh hati setengah mati dengan Mia. Sampai dia mengetahui bahwa kakaknya juga jatuh hati pada Mia, Ray tetap ngotot berusaha memenangkan hati Mia. Di tengah cerita saya sudah mencium aroma, AAhhh... ini endingnya pasti Ray dan Lucie nihh... Tetapi saya adalah penonton yang sangat menyukai ending yang plot twist alias tidak terduga. Karena sudah diduga dan agak "basi" juga sih, seolah biar Ray itu nggak kasihan-kasihan amat, saya kurang suka dengan cerita Ray dan Lucie. Seingat saya pun, di novel tidak ada tertulis hal ini. Entah saya yang lupa dengan isi novelnya, atau ini gimmick dari sutradara dan penulis skenarionnya. Entah.
Tetapi bukan berarti film ini jelek sekali. Ada juga yang saya suka di film ini.
Karakternya berbicara dalam bahasa Inggris, menyesuaikan dengan setting-nya yang mengambil tempat di New York.
Tetapi yang menarik perhatian saya, yah cuma itu.
Menurut saya, film ini belum bisa dibilang sukses. Tetapi saya tetap menghargainya sebagai karya anak bangsa. Lagipula yang menonton juga lumayan banyak. Semoga kedepannya, Hitmaker Studios bisa memproduksi film yang lebih baik lagi.
Dari 5 bintang, saya hanya bisa memberikan 2 bintang untuk film ini.
^^
Di mana pun dia berada. Dan kuharap dia tahu bahwa selama aku masih bernafas, aku akan selalu mencintainya. Sepenuh hatiku. Selamanya. -Alex Hirano