December 27, 2017

Jessela - Part 2 They Said, Life is About Moving On

2
They Said, Life is About Moving On

Picture Source : 6seconds.org

Aku bergidik sedikit saat hembusan angin dari pendingin ruangan menabrak permukaan tengkukku pagi itu. Bis yang kutumpangi melaju di pagi buta. Mataku bahkan masih terasa berat. Masih sekitar 8 jam lagi sebelum tiba di Yogyakarta.
“Udah sampe belum?” tanya Bella dari seberang telepon sana.
Aku menggeleng. Lupa kalau Bella tidak bisa melihat gerakan kepalaku itu karena kami bukan sedang ber-video call.  Iya, kadang aku bisa sebodoh itu.
“Masih sekitar 8 jam lagi,Be… Tadi bisnya mogok.”
“Hah? Mogok? Kok bisa?”
“Ya bisa lahh… namanya juga mesin!”
“Oohh…” sahut Bella, aku tahu dia tak punya kata-kata lain untuk didebat.
“Gue udah makan kok,Be… Makan roti sama minum susu. Udah minum obat anti mabok darat. Nanti kalau gue udah sampe, gue kabarin lagi ya,Be…” jelasku.
Bella bukan seorang sahabat yang romantis secara lisan. Dia mungkin terlihat ketus, dingin, dan kejam dari luar penampilannya, tetapi begitu mengenalnya, baru tahu bahwa sesungguhnya Bella adalah sahabat yang sangat pengertian dan penuh sayang.
“Ok deh. Hati-hati ya, Je…”
“Heemh,” lalu kututup pembicaraan kami dan memasukan ponselku ke dalam tas bahuku asal-asalan.
Pandanganku kembali kulempar pada pemandangan di luar kaca bis. Pepohonan yang berdiri tegak walaupun sepertinya angin di luar sana bolak balik menghembus kasar daun-daun dan rantingnya. Andai manusia bisa sekuat dan setegar pohon, tidak mudah tumbang walau diterjang penyakit apapun.
Ish! Lagi-lagi aku mendramatisir kehidupanku.
Berhari-hari, bahkan berminggu-minggu aku menghabiskan beberapa waktuku secara sia-sia, mempertanyakan mengapa manusia bisa meninggal dengan mudah? Mengapa penyakit bisa datang tiba-tiba lalu mengambil nyawa seseorang dalam hitungan hari? Mengapa orang baik meninggal begitu cepat, sedangkan orang jahat yang didoakan cepat mati malah nggak mati-mati?
Pertanyaan yang tak akan bisa kujawab sendiri.
Pertanyaan yang mempertanyakan hak prerogatif Tuhan.
Karena pada akhirnya, Tuhan adalah Tuhan. Siapalah kita manusia ini sehingga berhak mempertanyakan keputusannya? Siapalah kita manusia ini sehingga kita berhak marah atas segala yang sudah ditentukannya dalam hidup kita? Pada hakikatnya, kita datang ke dunia ini karenaNya, dan nantinya pun akan kembali lagi pulang menghadapNya. Hidup ini hanya perjalanan.
Semua pengertian itu terkadang masih belum cukup buatku untuk memahami, mengapa Tyaga meninggalkanku. Semua pengertian tadi masih belum sanggup menyembuhkan hatiku yang terluka karena ditinggalkan saat kami sedang saling cinta-cintanya. Romantisme manusia yang seringkali membuatku merasa durhaka pada Sang Pencipta.
Sorry, tasnya…”
Aku menoleh dan mendapati seorang laki-laki yang kemungkinan usianya sepantaran denganku, atau mungkin lebih tua dariku sedikit, tersenyum sambil menoleh ke arah tas bahu yang kutaruh di kursi kosong di sebelahku. Kursi itu kosong sejak semalam, mungkin laki-laki ini pemiliknya. Baru aku menyadari kalau bis ini sudah berhenti di pool singgah.
“Oh, iya.. iya.. silahkan.”
“Tujuan ke Yogya juga?”
Aku tersenyum simpul menanggapi pertanyaan laki-laki ini. Aku tahu, niatnya mungkin hanya untuk ramah tamah. Pertanyaan retoris. Ke mana lagi kalau bukan Yogya? Semuanya juga tahu kalau tujuan akhir bis ini adalah ke Yogyakarta. Namun melihat penampilannya, laki-laki ini tidak ada tampang spesies buaya darat. Maka itu kusimpulkan, pertanyaan tadi hanya untuk memecah suasana.
“Iya.” Jawabku.
“Basi ya pertanyaannya?”
Aku pun tertawa kecil. Rupanya laki-laki ini juga merasa garing sendiri dengan pertanyaannya.
“Mungkin pertanyaan seharusnya adalah, sendirian aja ke Yogya nya?” kataku berusaha untuk bersikap ramah juga pada laki-laki ini.
“Kalau saya tanya begitu, bukannya malah terlihat seperti punya niat buruk?”
Are you?”
Otomatis lehernya langsung menggeleng seru, “Of course not!”
“Jessela,” kataku sambil mengulurkan tangan, “Menyebutkan nama terlebih dahulu, bukan berarti saya gampangan loh ya..”
“Rere,” katanya lalu menyambut uluran tanganku, “Nickname sih, aslinya Regan.”
“Ooo…” Cuma itu yang keluar dari mulutku. Vokal bulat satu itu memang paling cocok dipakai untuk mengatasi mati gaya karena tidak tahu harus merespon apa.
“Ke Yogya karena liburan?”
Aku menggeleng, “Nope. Ke Yogya karena lari.”
Rere mengernyit bingung. “You’re in the bus now. Not running…”
Aku praktis tertawa. Entah mengapa aku tertawa, otomatis keluar begitu saja. Terlalu mudah akrab dengan orang yang baru dikenal, seperti bukan aku.
“Kalau Rere? Ngapain ke Yogya? Liburan?”
Rere menggeleng, “Aku ada seminar.”
“Seminar?” tanyaku sekali lagi. “Seminar apa?”
Rere merogoh sesuatu dari dalam saku belakang celana jeans, mengambil sebuah dompet berwarna abu-abu kemudian membukanya. Dari salah satu sisi dalam dompetnya, Rere mengeluarkan sebuah kartu identitas yang dikeluarkan oleh salah satu rumah sakit swasta di Jakarta.
dr. Reganio Petra, Sp.BS
“Dokter?” tanyaku, sama tidak pentingnya dengan pertanyaan Rere soal Yogya tadi.
Rere mengangguk, “Nggak ada tampang dokter ya?”
“Sejujurnya, iya. Kamu terlihat terlalu muda untuk jadi seorang dokter dengan gelar spesialis.”
Sesaat timbul perasaan bersalahku pada almarhum Tyaga. Baru sekitar dua bulan sejak Tyaga pergi. Bahkan sekalipun aku belum sanggup pergi mengunjungi makamnya sejak terakhir aku terduduk menangis meraung di dekat nisannya. Sekarang aku sudah bicara akrab dengan laki-laki yang baru kukenal dalam hitungan menit di bis. Apakah pantas?
“Jessela?”
“Oh? Ya?”
“Bisnya udah jalan…”
Aku mengangguk pada Rere, tetapi pikiranku melayang pada potongan kejadian yang terjadi dua hari setelah hari pemakaman Tyaga. Pertanyaan yang berlari di depan mataku, di tengah goncangan kapal feri yang membawaku kembali dari kampung halaman Tyaga, tempat Tyaga dimakamkan.
Apakah aku bisa mencintai laki-laki lain 100% seperti yang sudah kulakukan pada Tyaga?
Banyak laki-laki baik di dunia ini, namun apakah ada laki-laki baik yang mau menerima perempuan yang hatinya patah dan remuk seperti milikku?
Aku seorang perempuan yang tak mudah jatuh hati. Tetapi sekali aku jatuh, aku jatuh begitu dalam. Tyaga sudah membuatku jatuh begitu dalamnya. Apakah masih ada laki-laki yang sudi menarik bangkit wanita yang jatuh karena laki-laki lain?
Apakah aku masih layak berharap bisa dicintai laki-laki lain?
Apakah masih bisa aku bermimpi mendapatkan laki-laki yang mencintaiku apa adanya tanpa tuntutan? Apakah bisa aku menemukan laki-laki itu?
Life is about moving on, Jessela…
Mendadak sebaris nasihat dari Bella terngiang. Move on? Bukannya tidak mau. Aku berusaha. Sungguh! Tetapi rasa takut ditinggalkan seperti menghalangi. Aku tidak mau patah hati berkali-kali. Rasa sakitnya sungguh keterlaluan, sampai aku berpikir, mati mungkin lebih baik.
“Mau roti, Je?”
Aku menoleh dan mendapati Rere menyodorkan sebuah kotak makan Tupperware warna hijau tua yang berisi potongan sandwich. Lembaran keju dengan potongan tomat berwarna merah dan suwiran daging yang menyembul di sisinya nampak menggoda. Pak dokter dan kotak makan Tupperware. Mendadak aku merasa itu imut.
“Kok malah ketawa, Je?”
Aku menggeleng pelan dan mengambil sepotong sandwich dari kotak makan Rere. “Nggak papa. Ngerasa lucu aja…”
“Selama di Yogya, rencana mau ke mana aja, Je?”
“Nggak tahu. Ikutin mood aja.”
“Loh? Kok begitu?”
“Memangnya kenapa?”
“Mau ikut ke seminar saya? Nggak usah kuatir masalah masuknya, saya pembicaranya kok.”


It’s gonna be a long trip…

No comments:

Post a Comment