2
They Said, Life is About Moving On
Picture Source : 6seconds.org |
Aku bergidik sedikit saat hembusan
angin dari pendingin ruangan menabrak permukaan tengkukku pagi itu. Bis yang
kutumpangi melaju di pagi buta. Mataku bahkan masih terasa berat. Masih sekitar
8 jam lagi sebelum tiba di Yogyakarta.
“Udah sampe belum?” tanya Bella
dari seberang telepon sana.
Aku menggeleng. Lupa kalau Bella
tidak bisa melihat gerakan kepalaku itu karena kami bukan sedang ber-video call. Iya, kadang aku bisa sebodoh itu.
“Masih sekitar 8 jam lagi,Be… Tadi
bisnya mogok.”
“Hah? Mogok? Kok bisa?”
“Ya bisa lahh… namanya juga mesin!”
“Oohh…” sahut Bella, aku tahu dia
tak punya kata-kata lain untuk didebat.
“Gue udah makan kok,Be… Makan roti
sama minum susu. Udah minum obat anti mabok darat. Nanti kalau gue udah sampe,
gue kabarin lagi ya,Be…” jelasku.
Bella bukan seorang sahabat yang romantis
secara lisan. Dia mungkin terlihat ketus, dingin, dan kejam dari luar
penampilannya, tetapi begitu mengenalnya, baru tahu bahwa sesungguhnya Bella
adalah sahabat yang sangat pengertian dan penuh sayang.
“Ok deh. Hati-hati ya, Je…”
“Heemh,” lalu kututup pembicaraan
kami dan memasukan ponselku ke dalam tas bahuku asal-asalan.
Pandanganku kembali kulempar pada
pemandangan di luar kaca bis. Pepohonan yang berdiri tegak walaupun sepertinya angin
di luar sana bolak balik menghembus kasar daun-daun dan rantingnya. Andai
manusia bisa sekuat dan setegar pohon, tidak mudah tumbang walau diterjang
penyakit apapun.
Ish! Lagi-lagi aku mendramatisir
kehidupanku.
Berhari-hari, bahkan berminggu-minggu
aku menghabiskan beberapa waktuku secara sia-sia, mempertanyakan mengapa
manusia bisa meninggal dengan mudah? Mengapa penyakit bisa datang tiba-tiba
lalu mengambil nyawa seseorang dalam hitungan hari? Mengapa orang baik
meninggal begitu cepat, sedangkan orang jahat yang didoakan cepat mati malah
nggak mati-mati?
Pertanyaan yang tak akan bisa
kujawab sendiri.
Pertanyaan yang mempertanyakan hak
prerogatif Tuhan.
Karena pada akhirnya, Tuhan adalah
Tuhan. Siapalah kita manusia ini sehingga berhak mempertanyakan keputusannya?
Siapalah kita manusia ini sehingga kita berhak marah atas segala yang sudah
ditentukannya dalam hidup kita? Pada hakikatnya, kita datang ke dunia ini
karenaNya, dan nantinya pun akan kembali lagi pulang menghadapNya. Hidup ini
hanya perjalanan.
Semua pengertian itu terkadang
masih belum cukup buatku untuk memahami, mengapa Tyaga meninggalkanku. Semua
pengertian tadi masih belum sanggup menyembuhkan hatiku yang terluka karena
ditinggalkan saat kami sedang saling cinta-cintanya. Romantisme manusia yang
seringkali membuatku merasa durhaka pada Sang Pencipta.
“Sorry, tasnya…”
Aku menoleh dan mendapati seorang
laki-laki yang kemungkinan usianya sepantaran denganku, atau mungkin lebih tua
dariku sedikit, tersenyum sambil menoleh ke arah tas bahu yang kutaruh di kursi
kosong di sebelahku. Kursi itu kosong sejak semalam, mungkin laki-laki ini
pemiliknya. Baru aku menyadari kalau bis ini sudah berhenti di pool singgah.
“Oh, iya.. iya.. silahkan.”
“Tujuan ke Yogya juga?”
Aku tersenyum simpul menanggapi
pertanyaan laki-laki ini. Aku tahu, niatnya mungkin hanya untuk ramah tamah.
Pertanyaan retoris. Ke mana lagi kalau bukan Yogya? Semuanya juga tahu kalau
tujuan akhir bis ini adalah ke Yogyakarta. Namun melihat penampilannya,
laki-laki ini tidak ada tampang spesies buaya darat. Maka itu kusimpulkan,
pertanyaan tadi hanya untuk memecah suasana.
“Iya.” Jawabku.
“Basi ya pertanyaannya?”
Aku pun tertawa kecil. Rupanya
laki-laki ini juga merasa garing sendiri dengan pertanyaannya.
“Mungkin pertanyaan seharusnya
adalah, sendirian aja ke Yogya nya?” kataku berusaha untuk bersikap ramah juga
pada laki-laki ini.
“Kalau saya tanya begitu, bukannya
malah terlihat seperti punya niat buruk?”
“Are you?”
Otomatis lehernya langsung
menggeleng seru, “Of course not!”
“Jessela,” kataku sambil
mengulurkan tangan, “Menyebutkan nama terlebih dahulu, bukan berarti saya
gampangan loh ya..”
“Rere,” katanya lalu menyambut
uluran tanganku, “Nickname sih,
aslinya Regan.”
“Ooo…” Cuma itu yang keluar dari
mulutku. Vokal bulat satu itu memang paling cocok dipakai untuk mengatasi mati
gaya karena tidak tahu harus merespon apa.
“Ke Yogya karena liburan?”
Aku menggeleng, “Nope. Ke Yogya karena lari.”
Rere mengernyit bingung. “You’re in the bus now. Not running…”
Aku praktis tertawa. Entah mengapa
aku tertawa, otomatis keluar begitu saja. Terlalu mudah akrab dengan orang yang
baru dikenal, seperti bukan aku.
“Kalau Rere? Ngapain ke Yogya?
Liburan?”
Rere menggeleng, “Aku ada seminar.”
“Seminar?” tanyaku sekali lagi. “Seminar
apa?”
Rere merogoh sesuatu dari dalam
saku belakang celana jeans, mengambil sebuah dompet berwarna abu-abu kemudian
membukanya. Dari salah satu sisi dalam dompetnya, Rere mengeluarkan sebuah
kartu identitas yang dikeluarkan oleh salah satu rumah sakit swasta di Jakarta.
dr. Reganio Petra, Sp.BS
“Dokter?” tanyaku, sama tidak
pentingnya dengan pertanyaan Rere soal Yogya tadi.
Rere mengangguk, “Nggak ada
tampang dokter ya?”
“Sejujurnya, iya. Kamu terlihat
terlalu muda untuk jadi seorang dokter dengan gelar spesialis.”
Sesaat timbul perasaan bersalahku
pada almarhum Tyaga. Baru sekitar dua bulan sejak Tyaga pergi. Bahkan sekalipun
aku belum sanggup pergi mengunjungi makamnya sejak terakhir aku terduduk
menangis meraung di dekat nisannya. Sekarang aku sudah bicara akrab dengan
laki-laki yang baru kukenal dalam hitungan menit di bis. Apakah pantas?
“Jessela?”
“Oh? Ya?”
“Bisnya udah jalan…”
Aku mengangguk pada Rere, tetapi
pikiranku melayang pada potongan kejadian yang terjadi dua hari setelah hari
pemakaman Tyaga. Pertanyaan yang berlari di depan mataku, di tengah goncangan
kapal feri yang membawaku kembali dari kampung halaman Tyaga, tempat Tyaga
dimakamkan.
Apakah aku bisa mencintai
laki-laki lain 100% seperti yang sudah kulakukan pada Tyaga?
Banyak laki-laki baik di dunia
ini, namun apakah ada laki-laki baik yang mau menerima perempuan yang hatinya
patah dan remuk seperti milikku?
Aku seorang perempuan yang tak
mudah jatuh hati. Tetapi sekali aku jatuh, aku jatuh begitu dalam. Tyaga sudah
membuatku jatuh begitu dalamnya. Apakah masih ada laki-laki yang sudi menarik
bangkit wanita yang jatuh karena laki-laki lain?
Apakah aku masih layak berharap
bisa dicintai laki-laki lain?
Apakah masih bisa aku bermimpi
mendapatkan laki-laki yang mencintaiku apa adanya tanpa tuntutan? Apakah bisa
aku menemukan laki-laki itu?
Life is about moving on, Jessela…
Mendadak sebaris nasihat dari
Bella terngiang. Move on? Bukannya tidak mau. Aku berusaha. Sungguh! Tetapi
rasa takut ditinggalkan seperti menghalangi. Aku tidak mau patah hati
berkali-kali. Rasa sakitnya sungguh keterlaluan, sampai aku berpikir, mati
mungkin lebih baik.
“Mau roti, Je?”
Aku menoleh dan mendapati Rere
menyodorkan sebuah kotak makan Tupperware
warna hijau tua yang berisi potongan sandwich. Lembaran keju dengan potongan
tomat berwarna merah dan suwiran daging yang menyembul di sisinya nampak
menggoda. Pak dokter dan kotak makan Tupperware.
Mendadak aku merasa itu imut.
“Kok malah ketawa, Je?”
Aku menggeleng pelan dan mengambil
sepotong sandwich dari kotak makan Rere. “Nggak papa. Ngerasa lucu aja…”
“Selama di Yogya, rencana mau ke
mana aja, Je?”
“Nggak tahu. Ikutin mood aja.”
“Loh? Kok begitu?”
“Memangnya kenapa?”
“Mau ikut ke seminar saya? Nggak
usah kuatir masalah masuknya, saya pembicaranya kok.”
It’s gonna be a long trip…
No comments:
Post a Comment