December 29, 2017

Jessela - Part 3 Under Construction


3
Under Construction

Pic Source : lovethispic.com

Dulu kupikir, keren sekali nampaknya kalau bisa menjadi salah satu peserta seminar nasional kedokteran. Kenyataannya, membosankan luar biasa! Sudah dua jam berlalu, dan rasa-rasanya aku sudah menguap puluhan kali. Sungguh mati gaya melihat deretan slide berisi macam-macam bagan dan gambar yang tidak kumengerti.
Save by the bell. My phone is ringing.
“Halo, Be?” kataku dengan berbisik, lalu perlahan keluar dari ruangan seminar.
“Lo kenapa malah jadinya datang ke seminar kedokteran?”
Mataku menjelajah bagian luar auditorium tempat seminar diadakan, lalu mendapati deretan tempat duduk empuk warna biru tua. Setelah duduk, baru aku menanggapi pertanyaan Bella. Sementara yang ditanya-tanya sudah menggerutu dengan suara tak jelas dari seberang telepon sana.
“Lo denger gue kagak sih, Je? Je?? Jee…???”
“Iye… Gue denger, Be… Nyari tempat pewe dulu…”
“Alesan aja lu! Sekarang kasih tahu gue, ngapain lo datang ke seminar kedokteran? Terus, dokter Rere yang lo ceritain kemarin, itu siapa? Lo nemu gebetan di bis? Orangnya kayak gimana, Je? Hati-hati ya lo! Biarpun dokter, belum tentu semua dokter itu baik. Bisa jadi doi baik cuma kalau sama pasien. Sama orang lain, ternyata doi buaya darat. Je?? Lo dengerin gue kan??”
Aku menarik nafas panjang dan mengulum senyum. Bella Anjani, sahabatku selama hampir 8 tahun, si muka ketus yang sesungguhnya perhatian dan keibuan. Rombongan pertanyaan yang dilontarkannya barusan merupakan wujud sayangnya padaku. Berkali-kali kukatakan padanya, andai dia seorang laki-laki, mungkin dia yang akan kunikahi.
“Kerjaan lo lagi sepi, Be? Nggak ada email yang kudu dibales?” tanyaku.
Bella semakin sewot nampaknya, “Kok malah lo yang nanya-nanya? Pertanyaan gue dijawab dulu!”
“Oke. Pertama, gue datang ke seminar ini karena gue emang belum ada rencana di Yogya ini. Tepatnya, belum ada ide mau ke mana. Kedua, Rere ini temen sebangku gue di bis kemarin. Bukan gebetan. Camkan itu ya, Be! Ketiga, so far si Rere ini tidak mengancam dan nampaknya baik. Kalau doi macem-macem, I know how to kick hard. Don’t worry.”
Aku dapat mendengar suara nafas Bella yang dihembuskan pelan. Jawabanku belum sanggup membuatnya puas.
“Gue nggak mau lo jadi ngaco gara-gara patah hati. Jangan sembarangan ya…”
“Be,” aku kembali mengulum senyum, paham akan kekhawatirannya. “Lo tahu gue bukan orang yang gegabah begitu kan?”
“Jessela! Last time I saw you cried, you hold a bottle of Baygon in your hand! Dan gue belum lupa juga, subuh-subuh lo teriak-teriak dan berantakin isi laci dan lemari baju lo demi mencari gunting. Nggak gegabah kata lo?”
He’s a good guy, Be… He has a reputation to keep. Doi kerja di rumah sakit yang terkenal. You can Google him too. He’s quite famous, ternyata…”
Still, Je… Gue kuatir. Bukan perkara siapa si Rere ini. Lebih ke lo sendiri, Je. Lo beneran nggak papa di sana sendirian?”
Gantian aku yang menghela nafas panjang. Aku tidak mau mengatakan sesuatu yang tak sungguh jujur. Dalam hatiku sesungguhnya tak yakin, apakah aku akan baik-baik saja. Aku masih berharap, Tuhan bersedia memanggilku pulang juga. Lelah sekali rasanya patah hati.
Promise me, Jessela. You are going to be fine.”
I’m trying my best, Be…”

Ingatanku kembali pada kejadian di pagi buta itu. Hari Rabu, sekitar pukul tiga.
Aku masih berjuang melawan trauma yang terjadi di alam bawah sadarku. Tyaga dinyatakan meninggal dunia oleh dokter di hari Rabu, pukul setengah lima pagi. Sejak saat itu, bukan dengan keinginanku, aku selalu terbangun di pagi buta setiap hari Rabu. Dadaku sesak, dan bayangan ketika ruang ICU riuh dengan paramedis yang mencoba melakukan pertolongan pada Tyaga kembali terlintas. Ritme suara mesin EKG dan suara alat bantu nafas yang perlahan menghilang itu seolah berdengung di telingaku. Nafasku sesak, membuatku ingin mati saja saat itu. Sungguh, aku ingin mati saja.
Berbagai usaha untuk menghabisi nyawaku sendiri kulakukan di bawah alam sadarku. Bella menjadi semacam was-was setiap Selasa malam. Ia harus selalu membuka telinganya lebar-lebar dan bersiap untuk berlari secepat mungkin menghampirku kalau didengarnya aku berteriak. Semua alat yang tajam, obat serangga, dan apapun yang kira-kira mengancam sengaja ia sembunyikan. Tapi selalu ada saja caraku untuk menyakiti diriku sendiri.
Otomatis aku menyentuh memar di pelipis kananku. Lebam yang tidak pernah tuntas sembuh karena seringkali aku membenturkan kepalaku di dinding. Semua kulakukan di alam bawah sadarku.
Dan hari ini adalah hari Selasa.

“Je? Please…”
It’s under my conscious, Be… Let’s pray.”
Tiba-tiba aku merasa ada sebuah tangan menepuk bahuku. Refleks karena kaget, aku bergidik dan tanpa sengaja menjatuhkan ponselku. Rere berdiri, cengar-cengir sendiri melihatku melongo. Aku tahu dia tidak bermaksud membuatku sampai sekaget itu.
“Lagi istirahat. Jadi saya cari kamu. Pasti kamu bosen…”
Aku mengangguk jujur, kemudian memberi kode pada Rere untuk boleh menyelesaikan pembicaraanku dengan Bella. Rere mengangguk dan segera membantu untuk mengambil ponselku yang terlempar lumayan jauh. Buru-buru ia berikan padaku, sepertinya paham kalau orang di seberang telepon bisa saja panik karena aku tak memberi respon terlalu lama.
“Be, nanti gue telepon lagi. Lo kerja lagi aja…”
“Ok.”
“Bella, teman saya yang menelepon,” kataku. Entah untuk apa aku harus menjelaskan siapa yang meneleponku pada Rere. “Sorry ya, saya benar-benar mati gaya di dalam sana. Ngantuk.”
Rere tersenyum, “It’s okay. Malah saya yang jadi nggak enak hati sama kamu. Jadi membawa kamu dalam pencobaan.”
“Yehh, nggak segitunya juga kalii…”
Rere duduk di sebelahku dan merogoh sesuatu dari bagian dalam jas panjang abu-abu yang dikenakannya. “Mau roti, Je? Udah jam makan siang.”
Aku menerima rotinya lalu bertanya, “Kamu suka banget roti ya?”
“Makan roti jelas lebih mendingan daripada makan mie instant…”
“Nasihat dokter sekali ya…” kataku, lalu berusaha membuka bungkusan roti dari Rere. Herannya, bungkusan tersebut sulit sekali dibuka.
Tanpa ijin dulu dariku, Rere mengambil roti tersebut dan membuka bungkusnya. Aku hanya bisa melihat semua yang dilakukannya tanpa berbuat apa-apa, bingung juga harus merespon apa. Bukan hal yang biasa untukku menerima pertolongan dari seorang laki-laki, apalagi yang baru dikenal. Selama bersama Tyaga, memang lebih banyak aku yang membantu dan mengerjakan banyak hal untuk Tyaga. Bagiku, sudah kodratnya perempuan melayani laki-laki, menjadi asisten bagi mereka. Bukan berarti menjadi bawahan, tetapi selalu ada di sisi laki-laki yang dicintai.
“Jessela?”
Aku menoleh, tetapi butuh beberapa detik untuk menjawab panggilannya. “Mmh? Ya?”
“Sejak kapan tangan kamu begini? Tremor.”
Tremor?
Butuh sepersekian detik lagi untuk mengerti maksud dari pertanyaan Rere. Sampai laki-laki ini meraih lenganku dan menunjukkannya di depan wajahku. Tidak terlalu jelas, tetapi sungguh aku melihat ujung-ujung jemariku yang bergetar aneh. Bagaimana mungkin aku tidak menyadarinya?
“Saya baru tahu…” desahku. Aku seperti linglung.
“Kamu mau cerita sama saya, Jessela? Sebenarnya apa alasan kamu ke Yogya?”
Dan aku mulai berteriak pada Tuhan, walau hanya mampu kulakukan dalam hati. Keadaan macam apa lagi yang harus kuhadapi saat ini? Aku mungkin seseorang yang ekstrovert. Aku cukup verbal dalam mengungkapkan pendapatku, tetapi tidak untuk urusan hati. Bahkan kepada orang tuaku dan Bella, aku hanya membiarkan mereka menerka-nerka. Yahh, walaupun banyak dari terkaan mereka benar. Itu juga karena mereka terlalu mengenalku dengan baik.
Insecure. Mungkin itu kata yang paling tepat untuk menggambarkan alasan mengapa aku hidup seperti ini. Perasaan takut disakiti dan dikecewakan membuatku seolah protektif berlebihan pada diriku sendiri. Menurutku, yang bisa menyelamatkan diriku sendiri adalah aku. Siapapun bisa melukai. Bukankah manusia di dunia ini pada hakikatnya diciptakan untuk bertahan dan bersaing? Maka dari itu, jangan mudah percaya pada orang lain.
Tyaga adalah laki-laki pertama yang berhasil membuatku percaya. Ia adalah satu-satunya laki-laki yang sanggup membuatku bergantung dan berpengharapan. Kejujuran dan ketulusannya membuatku akhirnya mau membuka diriku. Bersama Tyaga, aku menjadi wanita yang belajar untuk menerima fakta, laki-laki diciptakan dengan bahu yang lebih lebar supaya wanita bisa bersandar dan tidak berusaha kuat sendiri.
Setelah itu Tuhan mengambil Tyaga. Meninggalkan aku yang jadi lemah dan seolah tak punya perlindungan. Tyaga pergi dan aku harus kembali membangun tembok perlindungan lagi. Aku seperti merangkak untuk bisa bangkit dan kuat seperti sebelum mengenal Tyaga. It's not easy. I wanna die everyday in my struggle. Aku tidak suka begini terus. Tembok itu harus tegak lagi secepatnya.
Dan tembok itu belum selesai dibangun, tapi Tuhan mempertemukanku dengan Rere. Apa maksudmu, Tuhanku? Engkau mau aku jadi lemah? Apa Kau tega melihat aku yang berdoa siang malam padaMu ini tersiksa terus menerus?

“Jessela…?”
"Hati saya hancur, Rere..."

No comments:

Post a Comment