January 3, 2018

Jessela - Part 4 Let It Go


4
Let It Go



Aku sengaja memilih untuk tinggal di penginapan yang tak jauh dari Gereja Ganjuran, Yogyakarta. Alasan yang mungkin terdengar terlalu sok suci. Aku hanya ingin merasa dekat dengan Tuhan. Dalam keadaan seperti ini, rasa-rasanya tidak ada yang mampu menolongku selain Tuhan, Sang Pemilik kehidupan itu sendiri.
“Maafkan saya, Jessela. Saya tidak ada maksud untuk mengorek kehidupan kamu. Sebagai dokter, saya…”
“Hanya berusaha untuk memberikan kesembuhan bagi orang yang membutuhkan.” Kataku, melanjutkan perkataannya yang tadi kupotong.
Aku tersenyum dalam usahaku meminta maaf karena telah memotong perkataanya tadi dan berusaha meyakinkan Rere kalau aku tidak menyesali keputusanku untuk menceritakan apa yang terjadi kepadanya. Sejak siang tadi, laki-laki ini mendadak jadi seperti orang yang canggung. Wajahnya seperti menunjukkan perasaan bersalah. Padahal dia tidak ada salah apa-apa. Dia hanya berusaha menjadi teman perjalanan yang baik dan dia sungguh menunjukkan itikad baiknya itu sampai saat ini.
“Pasti berat ya buat kamu…”
Kami duduk di kursi paling belakang ruang ibadah. Hanya ada aku dan Rere. Penerangan redup karena hanya lampu altar dan sedikit cahaya dari ruang doa yang menyinari. Mataku memandang jauh kepada salib yang ada di dekat altar. Bertanya dalam hati pada Tuhan yang bertahta di hadiratNya sana, Apa rasanya berada di surga sana? Pasti menyenangkan tak lagi membawa beban. Kapan aku bisa pulang ke rumahku yang abadi itu?
“Biasanya aku kuat. Tetapi sejak dia meninggal, seolah kekuatanku dibawa pergi juga bersama dia. Hanya disisakan sedikit.”
Ada jeda sejenak. Waktu seolah berhenti sampai aku dapat mendengar suara angin berhembus dari pinggir jendela. Bahkan suara titik api yang membakar sumbu dari lilin-lilin yang ada di ruang doa saja tertangkap oleh gendang telingaku yang terbatas. Mendadak secara abstrak, aku ingin melebur saja rasanya. Hatiku sakit lagi.
Aku benci jadi lemah.
Aku benci menangis di depan laki-laki, apalagi laki-laki yang baru kukenal.
Aku ingin seperti kerang. Kerang yang lunak memiliki cangkang yang keras untuk melindungi dirinya. Aku butuh cangkang itu sekarang.
“Beberapa bulan yang lalu, sekitar pukul segini, Tyaga masih hidup. Dia masih meracau dan minta supaya selang di mulutnya dicabut. Matanya masih bisa memandang saya, memohon supaya ikatan di tangannya dilepaskan. Dia masih berusaha bangkit saat ibunya datang ke ruang ICU untuk melihatnya…”
Nafasku mendadak jadi sesak. Dadaku seperti penuh dengan sesuatu yang berat. Tenggorokanku tercekat membuatku sulit bernafas. Sesaat aku berharap, lebih baik aku lumpuh ingatan saja.
“Tengah malam, dokter bilang pada kami kalau Tyaga dinyatakan dalam kondisi mati batang otak. Saat itu, kekuatan saya seperti sudah hilang separuh. Menguap entah ke mana. Hati saya hancur, tapi saya masih berharap Tuhan sudi memberikan kesempatan buat saya untuk melihat Tyaga sembuh.”
Dan kali ini tidak hanya tenggorokanku saja yang tercekat. Kepalaku bahkan terasa pening dan dadaku terasa sakit. Entah sampai kapan begini? Selalu tersiksa saat mengingat Tyaga pergi.
“Tapi Tyaga ternyata tidak pernah bangun lagi, Re… Dia bahkan nggak sempat mengucapkan apapun pada saya. Hanya dua kali gerakan kecil saat terakhir saya berdoa buat dia. Setelah itu dia pergi, Re… Hati saya hancur. Sampai sekarang.”
Rere hanya diam, tidak berani menataku. Pandangan matanya lurus menghadap ke arah altar. Mungkin kalau aku yang ada di posisinya, aku juga akan melakukan hal yang sama. Dia pasti merasa tidak nyaman sekarang.
“Jessela, hidup dan mati itu rahasia Tuhan,” Rere berkata dengan suara sangat pelan seperti berbisik. “Aku belajar tentang itu saat aku memutuskan menjadi dokter.”
“Saya tahu, Rere… Saya tahu kalau hidup dan mati manusia itu sudah ada suratannya. Saya cuma belum bisa menghadapi sakitnya melihat kematian di depan mata saya sendiri.”
“Selama hampir 10 tahun menjadi dokter, mulai dari masa koas hingga saat ini, saya sudah melihat puluhan kematian di depan saya. Tiga di antaranya meninggal di meja bedah saya.”
Aku menoleh menatap Rere. Sementara yang ditatap masih fokus pada altar, tetapi pandangannya kosong. Ekspresinya juga kosong. Rere yang ramah mendadak seperti dingin tanpa nyawa.
“Salah satu di antara tiga itu adalah Opa saya sendiri.”
“Opa?”
Rere menoleh kepadaku, tersenyum pahit. “Iya, Je… Opa saya. Opa yang membesarkan saya sedari bayi. Kamu tahu rasanya?”
Otomatis aku menggeleng.
It feels like I was killing my own grandpa. He believed me, but I can’t keep his belief. Saya merasa seperti tak layak hidup, Jessela. Merasa tak berguna.”
Tak ada yang bisa kulakukan selain menunduk dan meminta maaf pada Rere. Ternyata ceritaku malah membuka luka lamanya. Kehilangan seseorang yang berarti dalam hidup memang selalu menyakitkan.
I’m sorry, Rere…”
It’s okay, Jessela…”
Rere menarik paksa seutas senyum di pipinya. Senyum yang meninggalkan setitik lesung pipi di sebelah kiri wajahnya itu. Pasti berat buat Rere, karena aku bahkan dapat merasakan aroma biru dari ekspresi wajahnya. Luka lamanya lebih menyakitkan dari milikku.
“Butuh dua tahun lebih, Jessela. Setelah Opa meninggal, saya pergi jauh dan resign dari rumah sakit tempat saya bekerja dulu. Saya merasa tidak pantas menjadi dokter. Saya tidak mau lagi membunuh siapapun.”
“Orang tuamu bagaimana?”
“Mama saya marah besar. Mama merasa saya terlalu kekanak-kanakan dan drama.”
“Papamu?”
“Papa saya jauh lebih hangat dalam membujuk saya. Papa juga kehilangan Opa. Tidak hanya saya, Opa punya peranan besar bagi hidup papa saya. He’s a great father for him, almost like a superhero for my papa. Dan papa tidak menyalahkan saya atas meninggalnya Opa. Menurut Papa, I’ll try my best already but God do the rest. Who can beat Him?
Seolah berusaha melepas beban berat di dalam dada kami, kompak aku dan Rere menghembuskan nafas berat. Misteri hidup dan mati memang akan selalu menjadi top secret-nya Tuhan. Sebagai manusia kita hanya bisa bersiap. Toh, semua akan kembali menghadapNya.
“Kamu juga sudah melakukan yang terbaik, Jessela. Jangan menyalahkan diri.”
Aku mengangguk. Rere tidak salah, tetapi aku tak yakin melakukannya semudah menganggukan kepala. Semua tentang Tyaga masih membekas jelas di dalam pikiranku. Segala rutinitas yang selalu kami lakukan dan kini tak bisa lagi kulakukan, sungguh membuat aku merasa kosong. Bayangkan saja, melihat pertandingan sepak bola saja membuatku pilu. Tyaga suka sepak bola dan mengingatnya membuatku rapuh. Konyol, namun itu kenyataannya.
“Rere? Bagaimana caranya kamu bangkit?”
“Hmm?”
“Maksud saya, gimana caranya kamu bisa berani lagi melakukan operasi? Pasti butuh sesuatu kan supaya kamu nggak lagi merasa takut?”
“Sumpah dokterku, Jessela. Sesederhana itu logika mengingatkan aku, kalau manusia seringkali terlalu dramatis. Drama yang kita buat sendiri dan menyusahkan diri sendiri.”
Aku mengernyit, agak kurang setuju. “Apa itu tidak terlalu dingin,Re?”
“Awalnya aku berpikir begitu, Jessela… Tetapi sungguh. Saat kita berpikir ulang, kamu akan menyadari bahwa move on bukan berarti kita menjadi seperti tak punya hati.”
Rere bangkit dari tempat duduknya. Matanya dengan sopan memandangku, tangannya diulur meminta ijin untuk meraih tanganku.
“Ayo kita lihat Yogyakarta di malam hari. Kita lihat, apa malam ini kamu akan tetap disiksa sama monster yang mau membunuh kamu selama ini?”
Aku menaruh tanganku di telapak tangan Rere. “Kita mau ke mana malam-malam begini? Jangan aneh-aneh ya…”
Rere tertawa lalu menarikku berdiri dari tempat tidurku. Karena tak punya tujuan, aku diam saja saat tanganku digandeng olehnya keluar dari gereja. Setelah mengangguk sopan untuk pamit pada penjaga gereja, Rere mengeluarkan sebuah kunci dari saku jaketnya.
“Sekali-kali kita melakukan hal yang tidak sehat.”
Aku langsung menarik tanganku dari Rere. Praktis menyilangkan kedua tanganku di depan dada. Sebuah gesture melindungi diri. Rere mendadak nampak menyebalkan. Apalagi sekarang laki-laki ini senyum-senyum mencurigakan.
“Kamu nggak akan bawa aku ke tempat macam… sarkem kan?”
FYI, Sarkem atau Pasar Kembang adalah tempat lokalisasi terkenal di Yogyakarta. Konon katanya, Sarkem ini sudah dibangun sejak tahun 1818. Yahh, semacam Gang Doli kalau di Surabaya.
Rere tertawa lepas. Jenis tawa yang mengejek. Sementara Rere puas tertawa, aku malah jadi merasa bodoh dan malu sendiri. Wajahku mendadak terasa panas, padahal angin mala mini berhembus dingin di permukaan kulit.
“Memangnya aku ada tampang buaya darat yah?”
Aku menggeleng. “Enggak sih. Habis malam-malam dan melakukan hal yang tidak sehat, kok agak mencurigakan…”
Rere berdecak lalu mengulum senyum, “Lupa? Kalau aku ini dokter. Kalau bicara tidak sehat, yah berarti berhubungan dengan kesehatan.”
“Aktivitas di Sarkem itu juga memicu penyakit loh!” Aku membela diri, mencoba menahan malu karena sudah sok tahu.
“Makan sate, Jessela… Aku mau ngajak kamu makan sate. Makan sate malam-malam itu nggak sehat. Apalagi kalau sampai bertusuk-tusuk…”
“Oohh… Mau lah kalau itu.”




No comments:

Post a Comment