February 6, 2014

Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck




Baiklah! Saya akui ini adalah late post yang amat sangat kelewatan. Sudah lebih dari sebulan yang lalu, namun saya baru mem-postingnya sekarang. Maafkan saya :p
Jika anda belum tahu, film Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck diangkat dari novel berjudul sama karya Haji Abdul Karim Amrullah, atau yang lebih dikenal dengan nama Buya Hamka. Walaupun dari yang saya baca, novel ini mendapat tuduhan plagiat dari sejumlah novel asing, Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck berhasil menggambarkan dengan apik kondisi sosial masyarakat Minangkabau kala itu. Mungkin itu sebabnya, Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck dianggap sebagai karya terbaik dari Buya Hamka.
Dari sejumlah karya yang pernah beliau ciptakan, Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck adalah satu-satunya yang pernah saya baca dan begitu membekas dalam ingatan saya. Karena itulah, begitu tahu akan difilmkan, saya sangat semangat menanti filmnya.
Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck adalah film adaptasi novel Buya Hamka kedua yang saya tonton setelah Di Bawah Lindungan Kaabah (2011). Sama-sama diperankan oleh Herjunot Ali (Awww!) yang kali ini beradu peran dengan Reza Rahardian (Awwww lagi!) dan Pevita Pearce, saya harus katakan bahwa Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck lebih berhasil menyuguhkan kualitas penceritaan yang lebih baik daripada Di Bawah Lindungan Kaabah. Menurut saya, penulis naskah ceritanya berhasil merangkum dengan baik seluruh esensi cerita dari novel ke dalam alur cerita yang padat dan karakterisasi karakter yang digambarkan dengan sangat baik. Jadi Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck tidak semata-mata mengutamakan kisah romantis antar tokoh utamanya saja, seperti halnya beberapa film adaptasi lain.
Dengan mengambil setting kehidupan masyarakat Minang tahun 1930, Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck bercerita tentang seorang pemuda asal Makassar bernama Zainuddin (Herjunot Ali) yang kembali ke tanah kelahiran ayahnya di Batipuh, Tanah Datar, Minang. Bermaksud hendak mengenal tanah kelahiran ayahnya dan memperdalam ilmu agama tidak serta merta membuat Zainuddin diterima oleh penduduk setempat. Dikarenakan ibunya adalah seorang bugis dan Minang menganut sistem masyarakat matrilineal atau dari garis ibu, Zainuddin dianggap tidak memiliki kekerabatan apapun di tanah Minang.

Berkenalan dengan seorang bunga desa kebanggaan Batipuh yang cantik parasanya bernama Hayati (Pevita Pearce), lalu saling jatuh cinta  menguatkan hati Zainuddin untuk menetap di Batipuh, meski perlakuan tidak menyenangkan sering ia terima dari masyarakat. Namun sekali lagi karena masalah kekerabatan, jalinan perasaan keduanya dianggap menjadi sesuatu yang tidak layak. Walaupun pada akhirnya Zainuddin diminta untuk pergi dari Batipuh ke Bukittinggi, Zainuddin dan Hayati berjanji untuk tetap saling mencintai.
"Carilah kebahagiaan kita. Kemana pun engkau pergi, saya tetap untukmu. Jika kita bertemu kelak, saya akan tetap bersih dan suci untukmu, kekasihku."
- Hayati
 Cobaan besar datang ketika Hayati dipinang oleh Aziz (Reza Rahardian), seorang pemuda Minang yang berasal dari keluarga terpandang, yang dianggap lebih pantas bersanding dengan Hayati. Ditekan oleh tuntutan keluarga, berat hati Hayati memilih untuk menerima pinangan Aziz dan memutuskan hubungan dengan Zainuddin. Zainuddin yang patah hati memutuskan untuk pergi ke Jawa mengadu nasib sekaligus hendak melupakan Hayati. Ditemani oleh sahabatnya, Bang Muluk (Rendy Nidji), kemampuan menulis Zainuddin mengantarkannya menjadi seorang penulis yang terkenal dan bergelimangan materi. Namun garis takdir Zainuddin dengan Hayati ternyata belum terputus. Zainuddin bertemu kembali dengan Hayati yang kini telah menjadi istri Aziz.



Bangkrut dan tidak memiliki apa-apa lagi, Aziz meninggalkan Hayati di rumah Zainuddin lalu bunuh diri karena merasa tidak punya muka lagi. Sebelum meninggal, Aziz menulis sepucuk surat yang berisi talak cerai kepada Hayati dan pernyataan bahwa ia mengembalikan Hayati pada Zainuddin. Hayati yang masih mencintai Zainuddin memohon untuk dapat kembali pada pemuda itu. Namun sakitnya patah hati masih dirasakan oleh Zainuddin. Menolak menerima Hayati kembali, Zainuddin memintanya untuk kembali ke Batipuh dengan kapal Van Der Wijck.

 Bukankah kau yang telah berjanji ketika saya diusir oleh Ninik Mamakmu karena saya asalnya tidak tentu, orang hina, tidak tulen Minangkabau, ketika itu kau antarkan saya di simpang jalan, kau berjanji akan menunggu kedatanganku berapapun lamanya, tapi kemudian kau berpaling ke yang lebih gagah kaya raya, berbangsa, beradat , berlembaga, berketurunan, kau kawin dengan dia. Kau sendiri yang bilang padaku bahwa pernikahan itu bukan terpaksa oleh paksaan orang lain tetapi pilihan hati kau sendiri. Hampir saya mati menanggung cinta Hayati..  2 bulan lamanya saya tergeletak di tempat tidur, kau jenguk saya dalam sakitku, menunjukkan bahwa tangan kau telah berinang, bahwa kau telah jadi kepunyaan orang lain. Siapakah di antara kita yang kejam Hayati?
Kau pilih kehidupan yang lebih senang, mentereng, cukup uang, berenang di dalam emas, bersayap uang kertas. Siapakah di antara kita yang kejam Hayati? Siapa yang telah menghalangi seorang anak muda yang bercita-cita tinggi menambah pengetahuan tetapi akhirnya terbuang jauh ke Tanah Jawa ini, hilang kampung dan halamannya sehingga dia menjadi anak  yang tertawa di muka ini tetapi menangis di belakang layar. Tidak Hayati, saya tidak kejam. Saya hanya menuruti katamu. Bukankah kau yang meminta dalam suratmu supaya cinta kita itu dihilangkan dan dilupakan saja, diganti dengan persahabatan yang kekal. Permintaan itulah yang saya pegang teguh sekarang. Kau bukan kecintaanku, bukan tunanganku, bukan istriku. Tetapi janda dari orang lain. Maka itu secara seorang sahabat, bahkan secara seorang saudara saya akan kembali teguh memegang janjiku dalam persahabatan itu sebagaimana teguhku dahulu memegang cintaku. Itulah sebabnya dengan segenap ridho hati ini kau ku bawa tinggal di rumahku untuk menunggu suamimu, tetapi kemudian bukan dirinya yang kembali pulang, tapi surat cerai dan kabar yang mengerikan. Maka itu sebagai seorang sahabat pula kau akan ku lepas pulang ke kampungmu, ke tanah asalmu, tanah Minangkabau yang kaya raya, yang beradat, berlembaga, yang tak lapuk dihujan, tak lekang dipanas. Ongkos pulangmu akan saya beri. Demikian pula uang yang kau perlukan. Dan kalau saya masih hidup, sebelum kau mendapat suami lagi Insya Allah kehidupanmu selama di kampung akan saya bantu.
- Zainuddin

 Singkat cerita, malang menimpa Hayati. Dalam perjalanan kembali ke Batipuh, kapal Van Der Wijck yang ditumpanginya mengalami kecelakaan. Walau pada akhirnya sempat bertemu kembali, Hayati akhirnya meninggal di pelukan Zainuddin.
 
Film berdurasi 163 menit ini membuat saya terkagum-kagum dengan pemandangan cantik tanah Minang yang di-set tahun 1930-an. Penggunaan bahasa daerah oleh karakternya, walau sedikit banyak masih terdengar kaku, membawa saya seolah masuk dalam ceritanya. Apa yang saya pernah baca di novelnya, yang kemudian saya bayangkan di dalam benak saya, tidak terlalu berbeda dalam penggambarannya di film ini. Akting Pevita Pearce yang sebelumnya sempat saya ragukan, ternyata di luar ekspektasi saya cukup memuaskan. Herjunot Ali harus saya akui untuk di beberapa bagian cerita aktingnya sedikit berlebihan, namun ia berhasil menyampaikan emosi seorang Zainuddin dengan cukup baik. Sedangkan Reza Rahardian, jangan tanyakan lagi kualitas aktingnya.
 
Overall dari 5 bintang, saya berikan 4.5 untuk film ini.
 
Hidup perfilman Indonesia! Saya masih menantikan film Indonesia lain yang berkualitas seperti ini :)
 
Happy Watching, Guys!

"Cinta bukan melemahkan hati, bukan membawa putus asa, bukan menimbulkan tangis sedu-sedan. Tetapi cinta menghidupkan pengharapan, menguatkan hati dalam perjuangan menempuh ombak dan duri penghidupan"
- Hayati

No comments:

Post a Comment