November 19, 2017

When Words is The Only Left


The words in this picture describe what I am feeling right now.

Before he left me, I didn't know about real loss. Some people came, then go. Born, then die. That's life. Everyone knows.

Semua manusia yang lahir, suatu saat akan kembali pada pencipta-Nya. Sudah begitu aturannya. Gue paham. Gue menyadari. Gue yakin gue akan mengerti saat gue kehilangan seseorang yang gue cintai. Pemikiran dan perasaan ini gue siapkan untuk menghadapi kehilangan orang terdekat gue, dalam kasus gue adalah keluarga gue. My mom and dad getting old, days by days... One day they leave me, I am ready. Or maybe, me who gonna leave them first. No one knows. But I prepare myself for losing someone precious and I loved so much.

I never thought that losing him will hurt me this much.

Hanya dalam waktu 2 tahun mengenal dia, kurang lebih satu tahun setengah menjadi lebih dari sekadar saudara dan sahabat, gue nggak pernah menyangka bahwa kepergian dia seperti meruntuhkan tulang belulang gue dari dalam.

I start to realize, I love you that much, Bang...

Gue belum pernah mencintai lelaki lain sedalam ini, dan bodohnya, baru gue sadari saat-saat ini. Bahkan dalam hubungan gue sebelumnya, gue pikir gue susah move on gara-gara gue cinta berat sama laki-laki itu. Ternyata bukan karena cinta, melainkan sakit hati mendalam karena pahit diselingkuhi, yang bikin gue susah move on.

Tetapi dengan lelaki ini, gue ternyata pakai perasaan banget. Tulus. Nggak main-main.

For many times I said, gue tipe perempuan yang susah jatuh cinta. Sekalinya jatuh cinta, gue jatuh sedemikian dalam. Bukan gue jual mahal, tapi lebih kepada perasaan insecure disakiti yang membuat gue seperti menjaga diri dari yang namanya jatuh cinta. Gue nggak berani mencintai seseorang di luar keluarga gue, lebih daripada gue mencintai diri gue sendiri.

And Dear Tigor, with you I dared myself to love someone more than I love myself.

Perasaan kehilangan ini seperti berusaha membunuh gue perlahan dari dalam. Gue nggak bisa teriak. Nggak sanggup menangis meraung-raung. Nggak sanggup lagi bicara. Nggak sanggup menghilangkan perih pedih yang masih berdebur di dada gue.
Sampai suatu malam gue bertanya pada Tuhan dalam doa gue.

"Sekuat apa aku, Tuhan? Sampai Kau percayakan hal ini terjadi padaku. Sekuat apa aku, Tuhan? Sampai cobaan ini menguji aku."

Menghitung setiap detik, menit, jam, hari, bulan, bahkan tahun yang pasti akan berlalu, sekarang gue menantang diri gue sendiri untuk berani berharap penuh pada Tuhan Yesus. Kalau sebelum ini gue berani mencintai seseorang lebih dari gue mencintai diri gue, sekarang gue mencoba berani berharap lebih pada sosok Pencipta yang memiliki kehidupan ini.

Kehilanganmu seperti perlahan membunuhku. Tetapi aku mau tetap kuat sampai akhir, sampai suatu saat kita ketemu lagi.

With love,
Janet.

No comments:

Post a Comment