October 31, 2017

Lost A Half of My Heartbeat

Menghadapi kehilangan itu berat...

Siapa yang mau ditinggalkan? Apalagi ditinggal pas lagi sayang-sayangnya (Percayalah, dalam kasus gue saat ini, sungguh ini tidak bisa ditertawakan apalagi dijadikan meme)

It's been a long time... Gue udah lama banget nggak nulis di sini. Sekalinya nulis lagi, kok begini bener ya ceritanya? *brb ambil tissue

Gue jadian sama dia bulan Oktober tahun lalu.
Jadian yang dengan kesepakatan bersama tidak kami umbar-umbar dengan berbagai macam pertimbangan. Pertimbangan apa saja?

1. Kami kerja di satu tempat yang sama
2. Beda suku
3. Memang kita bukan tipe yang demen ngumbar-ngumbar.

Di antara ketiga alasan di atas, dua alasan teratas yang menjadi masalah utama, apalagi yang alasan nomor dua.

Nggak mudah pacaran beda suku. Karena tujuan ke depannya adalah menikah. Satu suku aja susah, apalagi beda. Dia Batak, gue Tionghoa. Sama-sama sangat berbudaya, jadinya butuh kesepakatan bulat banget untuk bisa satu. Keluarga yang curiga sana sini. Takut ini itu ke depannya. Banyak lah... tapi intinya, itu yang buat kita nggak mau umbar-umbar. Pikir kita, nanti lah kalau udah jadi menikah, baru kita ceritakan segala cerita tentang kita.

Namun benar kata orang,
Manusia berencana, Tuhan yang menentukan.

Tepat sehari setelah 1 tahun kita jadian, dia pergi ninggalin gue selama-lamanya. Kembali ke rumah Tuhan.
Gue kehilangan sosok sahabat, kakak, dan tentunya pacar.
Really, he's the best combo that I ever had. Sungguh nggak melebih-lebihkan, he's the best that I ever had.
Kayak judul posting gue saat ini, sungguh, kepergian dia benar-benar membuat gue seperti kehilangan setengah dari nafas dan detak jantung gue.
Sesak.

Sampai detik terakhir nafasnya, gue di sebelah dia.
Masih dengan logika, gue masih sempat mencium tangan dia, seperti biasa yang gue lakukan kalau dia pamit pulang dari kos. Tapi kali ini dia pamit pergi pulang ke rumah penciptaNya.
Dunia gue runtuh saat itu. Sebelum dia pergi, gue masih mampu berdiri kuat, tersenyum, dan menyeka darah dia yang keluar dari mana-mana dengan tenang. Pengharapan yang menguatkan, mungkin hanya itu yang tepat untuk mengungkapkan apa yang gue lakukan saat itu. Tapi saat nggak lagi gue temukan detak jantung di dadanya, dunia gue runtuh. Hati gue remuk. Dunia gue gelap.

Seketika gue ingat. Gue pernah bertanya pada Tuhan ketika suatu saat dulu dia menggenggam tangan gue. "Bolehkah Tuhan, jika tangan ini yang akan kugenggam di altar nanti? Tangan ini yang ingin kugenggam sampai akhir nanti ku menutup mata."
Dan memang tangan itu yang kugenggam, tapi sampai akhir ia menutup mata.

Dan masih banyak yang ingin gue ceritakan, tapi terlalu sakit jika diingat detail semuanya. One day, I'm gonna telling all without tears. Kalau sekarang, masih terlalu sesak.
Yah pasti sulit meninggalkan sebuah kebiasaan rutin yang sudah dilakukan kurang lebih satu setengah tahun.
Dari mulai membangunkan dia, melihat segala hal yang dia lakukan, memasakan makanan buat dia, ngurusin segala keperluan sehari-hari dia... too many things I've done, surely it's hard to forget in a wink of eyes.

Analoginya, kalau lo setiap hari minum susu di jam yang sama, waktu yang sama, dalam jangka waktu yang lama... terus suatu saat dikasih tahu kalau lo nggak bisa minum susu lagi. Hampa kan lo? Itulah yang gue rasa. Udah kaya lagu dangdut. Makan pecel lele, inget dia. Pakai minyak kayu putih, inget dia. Lihat Vario putih, inget dia. Parahnya, sekarang tiap gue nonton bola jadi inget dia. Kan sedih gue... Gue pulang ngelesin, lewat pos hansip, hansipnya pada nonton bola. Terus gue nangis.. Konyol deh...

Tapi ya begitulah rasanya kehilangan. Susahnya belajar ikhlas.

But I surely understanding, life must go on. Gue nggak bisa begini terus. Nggak mungkin gue nangis-nangis terus. Kalau sampai gue sakit dan kenapa-kenapa, I still have my family that love me too. There're still my friends who gonna support me no matter what. And he left me his family that I love too. I have the reason to stay strong, to stand still, to going through my life no matter how hard this life treat me. Dan gue yakin, kalau dia masih hidup dan melihat gue secemen ini, dia pasti bakal marah.

One thing I remember from him, once we had a fight, he said to me with tears in both of our eyes, "Aku cari perempuan yang kuat untuk menguatkan aku. Hatiku nggak sekuat itu, Jen.. Melihatmu kuat, aku jadi kuat. Tolong jangan lemah kayak begini. Gimana aku kuat?"

I will be strong as you will, Bang... I promise 'till one day we meet again in heaven.

But it takes time. Time will heal this pain. Tetapi gue janji, selelah apapun, gue nggak akan menyerah untuk tetap kuat.

He's the best that I ever met. He's my brother, my best friend, and lover at the same time. Jika Tuhan menentukan dia untuk bertemu dengan gue, menuliskan kisah yang menjadi salah satu terbaik dalam hidup gue, walau mungkin bukan jodoh, tapi itu yang terbaik.

Selamat jalan, sahabatku, abangku, kekasihku...
Kesekian kali kuucapkan itu, dan masih sesak untuk mengungkapkannya.
One day I'm gonna meet another one. Semoga cintanya bisa lebih dari apa yang sudah dia berikan buat gue. Bukan berarti melupakan dia. Dia tetap akan jadi cerita manis dalam hidup gue.

For the first I write your name in this blog of mine,
I love you, Tigor Setiawan Sidabutar...

Losing you like losing a half of my heartbeat.
Losing you is parting my heart into pieces.
But knowing you is one of the greatest story that God ever written in my life.

Peace in heaven, Sayang...

No comments:

Post a Comment