January 17, 2016

Menertawakan Hidup Lewat Ngenest Movie


Alasan pertama nonton film ini adalah Ernest Prakasa. Ernest adalah salah satu stand up comedian favorit saya. Kenapa? Karena dia selalu membawakan materi stand up yang erat juga hubungannya dengan saya. Yak, diskriminasi ras. Mungkin diskriminasi yang saya rasakan tidak semenyedihkan yang dialami oleh seorang Ernest Prakasa. Tetapi Ernest mengajarkan saya untuk menertawakan masalah hidup sebagai keturunan etnis Tionghoa.
Dengan membawa tagline Kadang Hidup Perlu Ditertawakan, film ini disadur dari tiga buah buku karya Ernest sendiri yang berjudul sama. Menceritakan tentang kehidupan seorang Ernest Prakasa, yang sedari lahir sudah bermata minimalis (Terima kasih Tuhan, walau saya keturunan Tionghoa, mata saya masih lumayan belo) dan kebetulan lahir di masa orde baru. Bagi Ernest, diskriminasi sudah menjadi santapan sehari-hari dalam kehidupannya. Panggilan, "Hey Cina!" dengan segala bully-bully dari teman sekolah dan lingkungannya menjadi suatu kenangan buruk yang tidak bisa ia abaikan begitu saja.
Ernest muda (Kevin Anggara) berusaha untuk berbaur dengan teman-temannya. Berbagai cara ia lakukan, walaupun sahabatnya yang bernama Patrick (mudanya diperankan oleh Brandon Salim) berusaha untuk mengingatkan, percuma saja berteman dengan non-Tionghoa, toh tidak membuat Ernest lepas dari bully-bully temannya. Sampai pada sebuah kesimpulan sederhana dari Ernest, jika sudah dewasa kelak ia harus menikah dengan seorang perempuan pribumi. Pada bagian ini saya sangat memahami semburan makanan yang keluar dari mulut papa Ernest (Ferry Salim). Kalau adik laki-laki saya mengatakan hal serupa saat makan malam, papa saya juga mungkin akan melakukan hal yang sama. LOL
Saat kuliah di Bandung, Ernest berkenalan dengan seorang perempuan bernama Meira (Lala Karmela) yang ditemuinya di tempat les bahasa Mandarin. Ernest yang tadinya les mandarin dengan malas-malasan, seperti punya semangat untuk les. Yah karena Meira. Singkatnya, mereka akhirnya dekat, berpacaran setelah Ernest melalui ujian-ujian dari papa Meira (Budi Dalton), lalu menikah. Keduanya menikah dengan adat Tionghoa untuk menyenangkan hati orang tua Ernest. Pernikahan dengan nuansa merah-merah plus Om Hengky yang menyanyikan lagu Yue Liang Tai Piao Wo De Xing. Sangat Cina. Demi apa, saya tertawa melihatnya. Sudah hampir dua tahun saya tidak dengar lagu itu, semenjak tinggal jauh dari orang tua karena kerja. Hahaha...
Lantas masalah selesai? Ernest sudah berhasil menikah dengan perempuan pribumi seperti yang ia inginkan. Ternyata tidak. Menikah artinya siap menjadi orang tua. Bayangan kalau nanti anaknya akan berwajah oriental sama seperti dirinya, lalu akan dibully teman-temannya, membuat Ernest merasa tidak siap untuk punya anak. Sementara Meira yang awalnya oke-oke saja, lama-lama merasa, there's something wrong with their marriage. Kapan Ernest siap? Mengapa seolah Ernest menghindar setiap ditanya soal anak? Sampai karena sebuah cekcok yang lumayan dramatis, Ernest memutuskan untuk, Oke kita punya anak.
Selama kehamilan Meira, Ernest masih dirundung kekhawatiran yang bertubi-tubi. Sampai terbawa mimpi segala. Hingga saat Meira mau melahirkan dan Ernest entah di mana, Patrick (Morgan Oey) menemukan Ernest berusaha menenangkan diri di tempat mereka biasa sembunyi kalau dibully. Ernest yang sadar, langsung berlari menuju Rumah Sakit menemui Meira yang mau melahirkan.
Berbeda dengan film komedi ala Raditya Dika yang mengusung tema percintaan kaum young adult, film pertama yang disutradarai sendiri oleh Ernest Prakasa ini mengusung isu sosial. Ernest membalut traumatis dia akan diskriminasi ras yang dialaminya dengan baluran komedi. Membuat film ini dibilang ringan, yaaahh... nggak ringan-ringan amat. Tetapi dibilang berat, juga nggak berat. Semua yang ditampilkan di sana ada di sekeliling kita. Hanya entah, penonton sadar atau tidak kalau semua yang di film Ngenest ada di sekeliling mereka.
Film ini punya kesan khusus buat saya. Saya tertawa pahit di beberapa bagian, tetapi saya juga ikut menitikan air mata di beberapa hal. Salah satunya ketakutan Ernest kalau anaknya nanti jadi bahan bully-an. Ernest menuangkan perasaan khawatir seorang calon ayah lewat ekspresinya, sampai membuat saya ikut sedih. (yah, mungkin memang saya saja yang baperan...)
Ernest dan pemain lainnya membawakan karakter mereka dengan baik. Ernest sendiri tidak usah ditanya. Memainkan karakternya sendiri tentu haruslah excellent. Lala Karmela yang justru mendapatkan acungan jempol karena berhasil membawakan karakter istri Ernest, Meira, dengan sangat baik. Chemistry nya bagus sekali, sampai saya kadang-kadang bertanya, "Itu istrinya Ernest apa nggak cemburu?". Morgan Oey (Uuuhh, saya suka banget sama yang ini sejak dia di Smash)  juga berhasil membawakan karakter Patrick dengan bagus. Filosofi tokai yang tak terlupakan. Ewwh tapi yah, boleh lah dijadikan filosofi. Chemistry dua sahabat antara Ernest dan Morgan terlihat real. Obrolan-obrolan khas orang Tionghoa yang suka menggunakan kata 'lu orang' dan 'dia orang' membuat keduanya terlihat, yahhh... cina banget. Saya jadi kangen teman-teman SD saya di komplek dulu. Surprisingly, Morgan yang biasanya nampak cool ternyata lumayan bisa melucu.
Kehadiran Arie Kriting, Fico, Ge Pamungkas, Awwe, dan Adjis biarpun cuma beberapa saat di beberapa scene, tetap saja bikin ngakak. Tetapi favorit saya adalah Mukhadly Acho, si pemeran dokter kandungan. Dia diam saja, saya tertawa. Pas bersuara, saya lebih kencang tertawanya. Belum lagi istri Ernest dan kedua anaknya, Sky dan Snow juga muncul di film ini dalam scene imlek. Sky bagus sekali memainkan cameo sebagai keponakan Ernest. Saya tertawa melihat dia berkata, "Ih, kiu kiue Ernest pelit, masak angpaonya cuma ceban?" LOL again.
Overall, film ini memang tidak sempurna, tetapi yang jelas menghibur sekali. Saya senang  akhirnya ada juga film Indonesia yang menceritakan isi hati warga negara Indonesia keturunan Tionghoa. Ernest is a good actor. Saya harap Ernest Prakasa terus berkarya, tetap menjadi stand up comedian dengan bit-bit yang lebih cerdas dan menghibur, dan selalu rendah hati.
From 5 stars, I give 3.5 stars to this movie.
Filmnya masih ada kok di beberapa bioskop. Review saya sih jauhhhh sekali dari sempurna, makanya nonton langsung filmnya di bioskop.
Hidup Cina!

No comments:

Post a Comment